INDEF Ramal Utang RI di Akhir Pemerintahan Jokowi Tembus Rp10.000 Triliun
INDEF memperkirakan utang luar negeri Indonesia di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2024 mendatang akan menembus Rp10.000 triliun.
IDXChannel - Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan utang luar negeri Indonesia di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2024 mendatang akan menembus Rp10.000 triliun.
Utang luar negeri (ULN) Indonesia per akhir Januari 2021 meningkat dari posisi ULN di Desember 2020. Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi ULN Indonesia pada periode tersebut sebesar 420,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp6.058 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dari posisi Desember 2020 yang tercatat 417,5 miliar dolar AS. Utang itu terdiri terdiri dari ULN sektor publik atau pemerintah dan bank sentral sebesar 213,6 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta, termasuk BUMN sebesar US$ 207,1 miliar.
"Ini belum selesai pemerintahannya, kalau sudah selesai diperkirakan menjadi Rp10 ribu triliun utang di APBN," ujar Ekonom senior Indef Didik J. Rachbini dalam diskusi virtual Rabu, (24/3/2021).
Didik menilai, tren utang di masa kepemimpinan Presiden Jokowi bertambah sangat pesat dibanding pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Untuk SBY, diakhir masa jabatannya, utang pemerintah tercatat sebesar Rp2.700 triliun dan utang BUMN Rp500 triliun.
Di sisi lain, dia juga menyoroti lemahnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam penyusunan anggaran negara, sehingga utang melesat lepas dari kontrol para anggota dewan. Didik menilai saat ini, wakil rakyat sudah tidak bisa lagi berkutik.
"Ini suatu prestasi yang besar dan ini perlu dicermati. Mengapa DPR tidak berkutik? Karena kekuasaan eksekutif sudah pindah ke legislatif. DPR sudah lemah seperti masa orde baru," kata dia.
Untuk ULN BUMN, dinilai naik signifikan usai periode 2015-2016. Dari hasil riset Indef, hingga di kuartal III-2020 ULN BUMN sektor keuangan dan non keuangan tercatat di angka Rp 996 triliun.
Peneliti Indef, Deniey A. Purwanto menyebut, trend kenaikan ULN BUMN secara signifikan terjadi di 2018. Dimana, utang di sektor keuangan berada di posisi 23,44 persen. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2017 yang berada di angka 0,10 persen.
Sementara ULN BUMN non keuangan tercatat berada di posisi 41,64 persen pada 2018. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan pada periode sebelumnya yakni 5,14 persen.
"Beberapa tahun terakhir utang BUMN menunjukan kecenderungan peningkatan yang cukup pesat baik BUMN lembaga keuangan maupun non lembaga keuangan. Ketika kita membandingkan BUMN keuangan dan BUMN non keuangan, kita harus keluarkan tabungan dan deposito dari utang, tapi tetap saja kita lihat perkembangan utang BUMN lembaga keuangan dan non lembaga keuangan meningkat cukup drastis dalam beberapa tahun terakhir," ujar Deniey
Meski begitu, ULN BUMN tercatat mengalami penurunan signifikan pada 2020. Dalam periode ini, utang perseroan negara hanya berada di angka 10,5 persen untuk lembaga keuangan. Sementara non keuangan hanya tercatat 12,99 persen.
Di sisi lain, bila dibuat perbandingan antara ULN BUMN keuangan dan non keuangan, utang luar negeri paling banyak diserap adalah BUMN dengan core business atau bisnis inti infrastruktur. Deniey menilai, hal itu terkait dengan penugasan dari pemerintah. Misalnya pembangunan sejumlah proyek strategi nasional (PSN). (RAMA)