Indeks Kepercayaan Industri Menurun di Juli 2024, Ini Subsektor yang Alami Kontraksi
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juli 2024 sebesar 52,4. Angka ini melambat 0,1 poin dibandingkan Juni 2024.
IDXChannel - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juli 2024 sebesar 52,4. Angka ini melambat 0,1 poin dibandingkan Juni 2024.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan perlambatan nilai IKI dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan masih terkontraksinya variabel produksi.
"Nilai IKI variabel pesanan baru menurun 1,86 poin menjadi 52,92, sedangkan variabel produksi meningkat 2,45 poin menjadi 49,44 atau masih kontraksi," ujar Febri melalui keterangan tertulis, Rabu (31/7/2024).
Selanjutnya, nilai IKI variabel persediaan produk meningkat 0,48 poin menjadi 55,53. Kondisi ini menunjukkan bahwa saat ini pesanan/penjualan di industri pengolahan masih dipenuhi oleh persediaan produk.
Selain itu, pada beberapa industri yang pesanan barunya kontraksi, produksi dilakukan untuk menambah tingkat ketersediaan produknya. Mayoritas industri pengolahan di Indonesia juga masih sangat mengandalkan pasar domestik. Penurunan pesanan terjadi hampir di seluruh subsektor industri.
"Dari 23 subsektor, 15 subsektor industri mengalami penurunan pesanan baru. Hal ini dikarenakan kondisi global yang belum stabil dan penurunan daya beli masyarakat di pasar domestik," kata Febri.
Data Kementerian Ketenagakerjaan juga menunjukkan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja sektor industri atau peningkatan pekerja nonformal.
"Sedangkan bila dilihat dari sisi proporsi pengeluaran terhadap pendapatan, terjadi peningkatan konsumsi dan penurunan tabungan, sehingga dapat disimpulkan kondisi masyarakat saat ini telah menggunakan tabungannya untuk konsumsi," kata Febri.
Kondisi ini berdampak pada pola pembelian barang yang berorientasi harga dan penurunan keberanian untuk berspekulasi mendapatkan kredit pembiayaan. Sedangkan para produsen mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi produksi.
"Beberapa faktor lain yang menahan laju ekspansi IKI yaitu pelemahan nilai tukar dan pemberlakuan kebijakan relaksasi impor pasca dibukanya 26.000 kontainer impor yang tertahan di pelabuhan oleh Menko Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan. Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran kebijakan yang sinergis dalam pembangunan industri pengolahan," ujar Febri.
Lebi lanjut, Febri menjelaskan subsektor industri yang mengalami kontraksi adalah industri kertas dan barang dari kertas, industri mesin dan perlengkapan YTDL, dan industri tekstil.
Kontraksi IKI pada industri mesin dan perlengkapan YTDL selaras dengan penurunan impor barang modal Juni 2024. Hal tersebut merupakan kebijakan pengusaha untuk menahan investasinya di tengah ketidakpastian pasar luar dan dalam negeri.
Nilai IKI produk tekstil belum berubah dan justru cenderung turun, sehingga upaya pengamanan barang beredar terkait produk industri tekstil dirasa belum berdampak. Hal ini juga lantaran satgas barang impor ilegal baru mulai bekerja pada akhir Juli 2024.
Sedangkan di industri kertas, kontraksi terjadi karena ada pola seasonal pada industri ini. Tahun ajaran baru 2024/2025 telah meningkatkan permintaan atas kertas untuk kepentingan pendidikan di tanah air.
Produksi industri kertas meningkat sebelum Juli dan kemudian mengalami penurunan pada Juli. Selain itu, kontraksi juga disebabkan oleh adanya penurunan saing industri kertas dalam negeri akibat banyaknya masuk barang impor dari China pasca implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Pelemahan nilai tukar rupiah juga berpengaruh terhadap biaya produksi karena kenaikan harga bahan baku dan harga energi. Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mempersyaratkan TKDN dan SVLK juga belum diterapkan, sehingga menambah tekanan pada industri ini pada Juli 2024.
Lebih lanjut, terdapat 20 subsektor ekspansi dengan kontribusi terhadap PDB industri pengolahan non-migas Triwulan I-2024 sebesar 93,6 persen. Ekspansi tertinggi dialami oleh industri peralatan listrik, diikuti oleh industri pakaian jadi, dan industri percetakan dan reproduksi media.
(NIA DEVIYANA)