Industri Penerbangan Sulit Ekspansi, Ini Penyebabnya
Kebijakan diskon tiket pesawat dinilai tidak efektif untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang menggunakan moda transportasi udara.
IDXChannel - Kebijakan diskon tiket pesawat dinilai tidak efektif untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang menggunakan moda transportasi udara. Sebab, hal ini tidak serta merta membuat jumlah penumpang naik signifikan.
Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, jika berkaca pada saat Natal 2024 dan Tahun Baru 2025, diskon tiket pesawat sebesar 10 persen hanya meningkatkan jumlah penumpang sekitar 3 persen. Itupun disebabkan karena momentum libur dan cuti bersama akhir tahun.
"Kita harus lihat, diskon 10 persen tapi naiknya hanya 3 persen, kenapa kita lanjutkan? Sedangkan dari supply yang ada, jumlahnya masih sedikit," kata Gerry dalam Market Review IDXChannel, Selasa (4/2/2025).
Menurutnya, jumlah penumpang yang tidak naik signifikan meski ada diskon tiket disebabkan karena kapasitas armada yang terbatas. Hal ini dinilai Gerry, seharusnya bisa menjadi gambaran bagi pemerintah betapa masih sulitnya industri penerbangan untuk melakukan ekspansi.
"Kita tidak hanya melihat demand, harus lihat juga dari sisi supply. Kalau mau recovery harus lihat apa yang dibutuhkan, tidak sekadar penumpang beli tiket lebih banyak," katanya.
"Jadi arline, ibarat kalau lagi low season cari-cari duit lah bagaimana caranya, tapi kalau padat kamu tidak boleh cari duit, industri mana yang mau jalan. Industri mana yang mau ekspansi kalau posisinya seperti itu, kapan pemerintah sadar?" ujar dia.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto menambahkan, ketentuan tarif batas atas (TBA) yang tidak kunjung disesuaikan sejak 2019 juga menjadi momok bagi industri penerbangan masih terbatas melakukan ekspansi.
Bayu menjelaskan, harga tiket pesawat ekonomi saat ini masih mengacu pada situasi ekonomi di 2019. Pada 2019, kurs dolar AS masih Rp12.500, sedangkan harga avtur masih di angka Rp10 ribuan.
Acuan harga itu sudah berbalik jauh dengan situasi ekonomi saat ini, ketika kurs dolar AS sudah menyentuh Rp16 ribu, dan harga avtur sekitar Rp13-Rp14 ribu. Namun, tidak ada penyesuaian harga baru untuk tarif batas atas saat ini.
Kondisi tersebut dinilai masih menyulitkan maskapai untuk melakukan recovery atau bahkan melakukan ekspansi. Sehingga, jangan heran jika jumlah armada masih terbatas hingga saat ini.
"Di Indonesia satu satunya yang di intervensi pemerintah lewat TBA, dalam perumusan TBA, komponen utama variabelnya kurs USD terhadap rupiah dan harga avtur, kalau naik 10 persen selama tiga bulan berturut-turut harus disesuaikan, ini tidak dilakukan juga," ujar Bayu.
(Dhera Arizona)