ECONOMICS

Industri Terpuruk, Asosiasi Pesimis Cukai Hasil Tembakau Capai Rp230,4 Triliun di 2024

Suparjo Ramalan 21/05/2024 06:34 WIB

Kinerja CHT 2024 diprediksi akan sama dengan tahun lalu. Pada 2023, realisasi penerimaan CHT tidak memenuhi target.

Pelaku industri tembakau pesimis bila penerimaan Cukai Hasil Tembakau 2024 mencapai target Rp230,4 Triliun di 2024 (MNC Media)

IDXChannel - Pelaku industri tembakau pesimis bila penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2024 mencapai target, yakni Rp 230,4 triliun. Perkaranya, industri tembakau Tanah Air saat ini sedang terpuruk. 

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan, hingga April tahun ini, penerimaan CHT tercatat minus 7,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. 

Menurutnya, kinerja CHT 2024 akan sama dengan tahun lalu. Pada 2023, realisasi penerimaan CHT tidak memenuhi target, meski nilai yang dibukukan cukup tinggi yaitu Rp213,48 triliun atau setara 91,78 persen dari target APBN.

Kondisi tersebut, lanjut dia, akibat adanya regulasi yang eksesif. Sehingga, dia menyarankan agar aturan tembakau dipisah dari RPP Kesehatan, sebagai aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

“Jika RPP tetap diputus dengan draf yang beredar saat ini, maka akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT. Banyaknya larangan terhadap IHT, seperti bahan tambahan atau pembatasan TAR dan nikotin, akan membuat anggota GAPPRI gulung tikar,” kata Henry, Selasa (21/5/2024). 

Saat ini sudah banyak berbagai aturan pembatasan dan larangan bagi IHT, di mana setidaknya ada 446 regulasi yang mengatur IHT dengan rincian 400 regulasi berbentuk kontrol atau pengendalian, 41 regulasi yang mengatur soal CHT, dan hanya lima regulasi yang mengatur isu ekonomi atau kesejahteraan.

“Dengan tambahan RPP (Kesehatan), tentu akan membuat IHT gulung tikar. IHT akan semakin berat jika harus memenuhi ketentuan dari RPP (Kesehatan), seperti perubahan kemasan, bahan baku, yang cost-nya sangat besar, pengaturannya juga semakin ketat,” kata dia. 

Selain itu, GAPPRI juga mengharapkan segmentasi bagi aturan penjualan rokok konvensional dan rokok elektrik untuk diperinci lebih jauh.

Hal ini dikarenakan kedua jenis rokok tersebut memiliki ekosistem yang berbeda, serta rokok konvensional mayoritas menggunakan bahan baku dalam negeri (TKDN). 

Ketua Umum APRINDO, Roy Nicholas Mandey, mengapresiasi adanya UU yang mengatur soal konsumsi tembakau dari sisi kesehatan.

Namun yang menjadi catatan, perlu pembahasan intens terkait larangan dan pembatasan penjualan bagi produk turunan tembakau karena menyangkut kesejahteraan ekonomi serta tenaga kerja yang berkecimpung di IHT. 

Salah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan, yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan.  Dia menilai aturan tersebut merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan salah tafsir. 

“Gampang sekali (aturan ini) dipelintir di lapangan. Akhirnya praktik di lapangan akan terjadi tahu sama tahu atau kompromi. Ini kan yang kita tidak inginkan. Nanti cost ekonomi kita jadi besar karena ada pasal karet yang dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oknum,” kata Roy.

Dia menilai, seharusnya pemerintah lebih menggencarkan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait konsumsi tembakau, dan bukan hanya meningkatkan intensitas pembatasan serta larangan yang berpotensi mengganggu laju ekonomi dalam negeri.

“Jangan berharap konsumsi rumah tangga sebagai kontributor Gross Domestic Product kita bisa mencapai sampai 6-7 persen,” pungkasnya. 

(NIY)

SHARE