Inflasi Desember 2023 Terendah 20 Tahun Terakhir, Bagaimana dengan Januari 2024?
Inflasi Tanah Air pada Desember 2023 tercatat sebesar 2,61 persen dan merupakan inflasi terendah sepanjang 20 tahun terakhir.
IDXChannel - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kondisi inflasi Indonesia di penghujung 2023. Inflasi Tanah Air pada Desember 2023 tercatat sebesar 2,61 persen, terendah sepanjang 20 tahun terakhir.
"Inflasi tahun 2023 merupakan inflasi terendah dalam 20 tahun terakhir di luar periode pandemi," kata Plt Kepala BPS, Amalia A. Widyasanti dalam konferensi pers, Jakarta, Selasa (2/1/2024).
Komoditas yang memberikan andil inflasi kelompok ini adalah beras dengan andil inflasi sebesar 0,53 persen, cabai merah dengan andil inflasi 0,24 persen, rokok kretek filter dengan andil 0,17 persen, cabai rawit dengan andil inflasi 0,10 persen dan bawang putih dengan andil inflasi 0,08 persen.
Beberapa komoditas lainnya yang juga menjadi penyumbang terbesar inflasi Desember 2023, yaitu emas perhiasan dengan andil 0,11 persen, dan tarif angkutan udara dengan andil sebesar 0,08 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara itu, menurut komponen inflasi tahunan pada Desember sebesar 2,61 persen ini didorong oleh inflasi seluruh komponen. Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi antara lain emas perhiasan, biaya sewa rumah, biaya kontrak rumah, gula pasir dan upah asisten rumah tangga.
Sedangkan untuk komponen harga diatur pemerintah mengalami inflasi tahunan sebesar 1,72 persen, komponen ini memberikan andil sebesar 0,32 persen. komoditas yang dominan memberikan andil inflasi selama setahun terakhir adalah rokok kretek filter, tarif angkutan udara dan rokok putih.
Amalia menambahkan, berdasarkan sebaran inflasi tahunan menurut wilayah, seluruh kota mengalami inflasi tahunan. Terdapat 50 kota alami inflasi tahunan lebih tinggi dari inflasi nasional.
Katanya, jika kita bandingkan dengan tahun 2022, capaian ini cukup baik mengingat pada 2022 terdapat 63 kota mengalami inflasi tahunan yang lebih tinggi dari inflasi nasional.
Imbas Kenaikan Harga Energi
BPS menjelaskan, faktor pendorong inflasi di akhir tahun yang paling dominan adalah kenaikan BBM non subsidi. Menurut BPS, pola ini ternyata sama terjadi pada 2008, 2013 dan 2014. Pola yang sama ternyata terlihat pada 2 tahun terakhir 2022 dan 2023.
Kenaikan harga BBM pada September 2023 ternyata memberikan tekanan inflasi dan kemudian di 2023 ini diikuti dengan inflasi yang relatif rendah.
"Setelah terjadi shock seperti kenaikan BBM non subsidi, level IHK akan menjadi sangat tinggi seperti contoh pada 2005 misalnya, seiring dengan kenaikan harga BBM, tingkat inflasi relatif tinggi, namun setelahnya pada 2006 terjadi tingkat inflasi yang relatif rendah. Ini yang kita sebut biasanya dengan istilah base effect," tutur Amalia.
Padahal, jika melihat data global, harga energi turun signifikan sepanjang 2023. Harga minyak mentah terus mengalami tekanan sepanjang tahun ini di tengah upaya organisasi negara eksportir minyak OPEC memangkas produksi untuk mendukung harga minyak hingga terjadinya perang Israel-Palestina dan yang terbaru serangan terhadap kapal minyak di Laut Merah oleh milisi Houthi.
Sepanjang 2023, harga minyak masih tertekan Brent masih tertekan 3,41 persen dan minyak West Texas Intermediate (WTI) tertekan 4,63 persen secara tahunan (yoy).
Per 2 Januari 2024, harga minyak mentah Brent berada pada USD78,3 per barel dan USD72,9 untuk minyak WTI.
Penurunan tajam harga minyak sempat terjadi pada paruh kedua 2022 yang merupakan cerminan ketidakpastian pasar atas isu resesi global. Harga minyak kemudian terus tertekan hingga menjelang akhir 2023.
Sementara itu, pengurangan produksi lanjutan yang diumumkan oleh OPEC pada November 2023 diperkirakan tak akan banyak membantu kenaikan harga ke depan.
Sayangnya, di tengah penurunan harga minyak bumi, Indonesia masih menjadi net importir terbesar. Per November 2023, data BPS menunjukkan impor migas RI tercatat mencapai 5 juta ton. Angka ini meningkat dibanding sebelumnya mencapai 4,3 juta ton.
Outlook Inflasi 2024
Inflasi di 2024, baik secara global maupun dalam konteks Indonesia, mencerminkan outlook yang cukup optimis.
Melansir laporan Al Jazeera, perekonomian dunia terbukti lebih tangguh dibandingkan perkiraan sebagian besar analis pada awal 2023.
Secara khusus, inflasi global telah turun tanpa adanya lonjakan besar dalam pengangguran. Namun para pembuat kebijakan, yang sangat ingin merekayasa “soft landing”, masih belum bisa mengatasi permasalahan ini.
Meski demikian, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengatakan output global akan melambat pada 2024 karena suku bunga yang tinggi - meskipun ada optimisme penurunan - akan menghentikan inflasi yang terus-menerus dan aktivitas ekonomi.
Pertumbuhan global diproyeksikan turun dari sekitar 3,5 persen pada 2022 menjadi 3,0 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral untuk melawan inflasi terus membebani aktivitas perekonomian. Inflasi umum global diperkirakan akan turun dari 8,7 persen pada 2022 menjadi 6,8 persen pada 2023 dan 5,2 persen pada 2024. Inflasi dasar (inti) diperkirakan akan menurun secara bertahap, dan perkiraan inflasi pada 2024 telah direvisi naik.
Di akhir 2023, Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tangguh, dengan tren inflasi yang menurun, dan mata uang yang stabil.
Bank Dunia dalam laporan Prospek Perekonomian Indonesia mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan akan sedikit menurun menjadi rata-rata 4,9 persen pada 2024-2026 dari 5 persen pada tahun ini karena lonjakan harga komoditas yang mulai melemah.
Konsumsi swasta diperkirakan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan pada tahun 2024. Investasi dunia usaha dan belanja publik juga diperkirakan akan meningkat sebagai dampak dari reformasi dan proyek-proyek pemerintah yang baru.
Inflasi diperkirakan akan berada di kisaran 3,2 persen pada tahun 2024 dari rata-rata 3,7 persen pada tahun ini, sesuai dengan target Bank Indonesia.
Menurunnya inflasi mencerminkan melemahnya harga komoditas dan kembalinya tingkat pertumbuhan permintaan domestik ke tingkat normal setelah pemulihan pascapandemi.
Pada saat yang sama, terdapat tekanan kenaikan pada harga pangan akibat dampak pola cuaca El-Niňo juga berpotensi mengganggu produksi pangan di beberapa tempat.
Inflasi juga bisa kembali menurun tahun ini karena kebijakan suku bunga yang mulai longgar ditandai dengan sikap dovish bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed). Dalam upaya menurunkan inflasi, Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya menjadi 5,25-5,5 persen hingga akhir 2023. Pada pertemuan terakhirnya di 2023, The Fed diperkirakan akan mengurangi tingkat suku bunga pada Marek 2024 mendatang.
Para ekonom juga memperingatkan kondisi ekonomi China yang masih belum pulih dan keterkaitannya yang erat dengan perekonomian global. Aktivitas ekonomi China mempunyai dampak besar terhadap perdagangan dunia, rantai pasok internasional, dan harga komoditas. (ADF)