Inggris Diramal Jadi Negara Maju dengan Tingkat Inflasi Tertinggi di 2023
Inggris melaporkan inflasi harga konsumen (IHK) pada Mei 2023 tetap berada di angka 8,7 persen pada Rabu (21/6/2023).
IDXChannel - Inggris melaporkan inflasi harga konsumen (IHK) pada Mei 2023 tetap berada di angka 8,7 persen pada Rabu (21/6/2023). Ini artinya, angka ini tidak berubah dari level terendah dalam 13 bulan.
Angka ini juga meleset dari perkiraan pasar. Ekonom yang disurvei oleh Reuters telah memproyeksikan kenaikan inflasi sebesar 8,4 persen yoy. (Lihat grafik di bawah ini.)
Tingkat ini tetap secara signifikan lebih tinggi dari target Bank of England (BoE) sebesar 2 persen. Data ini juga semakin menambah kekhawatiran tentang sikap BoE yang akan terus menaikkan suku bunga.
Inflasi di Inggris didominasi perjalanan udara yang meroket 31,4 persen dibanding 12,6 persen pada bulan sebelumnya.
Selanjutnya, inflasi barang dan jasa rekreasi dan budaya naik menjadi 6,7 persen dibanding bulan sebelumnya 6,3 persen. Serta inflasi penjualan mobil bekas sebesar 3,9 persen dibanding 1,2 persen bulan sebelumnya.
Angka-angka ini cukup untuk mengimbangi penurunan biaya bahan bakar yang telah melandai 13,1 persen dan melambatnya inflasi makanan di level 18,3 persen dari sebelumnya 19 persen.
Tingkat inflasi inti, yang tidak termasuk barang-barang volatil seperti energi, makanan, alkohol dan tembakau, naik menjadi 7,1 persen dan menjadi yang tertinggi sejak Maret 1992.
Merespons kabar dari Inggris ini, saham-saham Eropa memperpanjang penurunan mereka untuk sesi ketiga berturut-turut pada perdagangan Rabu (21/6/2023).
Bursa London, FTSE 100 turun 0,5 persen, karena data inflasi Inggris ini dan memperkuat ekspektasi langkah-langkah pengetatan lebih lanjut oleh Bank of England.
Pil Pahit Inggris
Bank sentral Inggris akan mengumumkan keputusan kebijakan moneter berikutnya pada Kamis besok (22/6/2023).
Melihat data terbaru ini, secara luas diperkirakan akan menerapkan kenaikan suku bunga ke-13 berturut-turut. BoE menghadapi tindakan penyeimbangan yang berbahaya karena membiarkan inflasi sulit dikendalikan tanpa menciptakan krisis hipotek dan resesi.
Inflasi yang ‘bandel’ dan pasar tenaga kerja yang terus-menerus ketat telah menyebabkan para ekonom dalam beberapa pekan terakhir meningkatkan perkiraan mereka untuk suku bunga puncak.
Ekonom juga memperkirakan siklus pengetatan kebijakan moneter sekarang diperkirakan akan berlangsung lebih lama dari perkiraan sebelumnya.
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksikan awal bulan ini bahwa Inggris akan membukukan inflasi utama tahunan sebesar 6,9 persen tahun ini, dan tingkat tertinggi di antara semua negara maju.
Ini juga menjadi tanda tanya pasar tentang kemampuan Perdana Menteri Rishi Sunak yang berjanji untuk mengurangi separuh inflasi pada akhir tahun ini menjelang pemilihan umum pada 2024.
"Kami tahu betapa tingginya inflasi merugikan keluarga dan bisnis di seluruh negeri, dan rencana kami untuk menurunkan separuh tingkat tahun ini adalah cara terbaik untuk menjaga biaya dan suku bunga tetap rendah," kata Menteri Keuangan Jeremy Hunt dalam sebuah pernyataan Rabu (21/6/2023).
Menurut Marcus Brookes, kepala investasi di Quilter Investors, bagi konsumen, investor, dan pemerintah, pengumuman inflasi Rabu (21/6/2023) telah menjadi pil pahit yang harus ditelan Inggris.
"Inggris benar-benar tampaknya menderita dari serangkaian keadaan yang lebih unik dan ini membuat Bank Inggris tidak punya banyak pilihan, meskipun ada konsensus bahwa inflasi ini lebih didorong oleh masalah pasokan daripada permintaan," kata Brookes kepada CNBC International.
Menurut Brookes, kenaikan suku bunga lebih lanjut akan memperburuk kekhawatiran yang berkembang akan krisis hipotek. Namun, dia mengatakan bank sentral sedang tidak punya pilihan, terutama dengan inflasi inti yang sekarang naik lagi.
Sebagai informasi, Bank of England telah menaikkan suku bunga dari awalnya 0,1 persen menjadi 4,5 persen selama 18 bulan terakhir.
Suren Thiru, direktur ekonomi di ICAEW, mengatakan data inflasi Mei yang lebih panas dari perkiraan menunjukkan perang melawan inflasi masih jauh dari selesai. Terutama mengingat tagihan makanan yang sangat tinggi dan meningkatnya inflasi inti.
"Inflasi inti terbukti menyusahkan, tekanan yang menyakitkan pada pengeluaran konsumen dari melonjaknya biaya hipotek dan pajak yang lebih tinggi akan segera menurunkannya," kata Thiru. (ADF)