ECONOMICS

Investasi Hulu Migas Naik Signifikan, Perizinan Masih Jadi Perhatian 

Yanto Kusdiantono 22/11/2025 18:27 WIB

Investasi hulu migas terus tumbuh dari USD10,5 miliar pada 2020 menjadi USD14,4 miliar pada 2024.

Investasi Hulu Migas Naik Signifikan, Perizinan Masih Jadi Perhatian 

IDXChannel - Laporan IHS Markit S&P Global menyebutkan, Indonesia mencatat peningkatan signifikan pada overall attractiveness rating hulu minyak dan gas (migas).

Pada laporan yang terbitkan Juni 2025 itu, rating Indonesia yang semula di bawah 4,75 pada 2021 menjadi 5,35 pada 2025.

Sejalan dengan itu, investasi hulu migas terus tumbuh dari USD10,5 miliar pada 2020 menjadi USD14,4 miliar pada 2024, dan diproyeksikan mencapai USD16,5 miliar pada 2025.

Kendati terjadi peningkatan, namun jika dilihat dari sisi birokrasi, industri migas di Tanah Air masih menghadapi tantangan terutama pada aspek perizinan.

Berdasarkan riset dari ReforMiner Institute, para pelaku usaha hulu migas dalam hal ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) masih harus melewati sekitar 140 proses perizinan yang melibatkan 17 kementerian/ lembaga, dengan waktu penyelesaian setiap perizinan berkisar antara 3 hingga 24 bulan.

Sebagai perbandingan, di beberapa negara penghasil minyak seperti Brasil, pelaku usaha hanya perlu menyelesaikan izin yang dikeluarkan oleh dua lembaga. Kemudian, Norwegia empat lembaga, Malaysia satu, Amerika Serikat dan Nigeria tiga lembaga. 

“Meski Pemerintah melalui SKK Migas telah berupaya menyederhanakan perizinan kegiatan hulu migas, namun hal tersebut belum berdampak pada pengurangan jumlah kelembagaan yang terlibat. Kalau kita liat beberapa tahun terakhir, ada beberapa investor yang ‘balik kampung’ karena mereka melihat prospek di luar lebih bagus, termasuk kemudahan berusahanya,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat diskusi online Jumat (21/11/2025). 

Komaidi menambahkan, hasil kajian Indonesian Petroleum Association  (IPA) dan Wood Mackenzie pada 2023 juga menyebutkan bahwa perizinan di Indonesia terbilang kompleks.

Beberapa faktor yang kerap menjadi kendalan antara lain sifat birokrasi dari proses perizinan, ketidakselarasan regulasi serta ketidakstabilan kebijakan akibat visi jangka pendek yang dibentuk oleh siklus politik lima tahunan.
 
Meski demikan, dalam hal iklim investasi hulu migas, selama lima tahun terakhir, pihaknya mencatat pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang positif. Antara lain adanya penerapan fleksibilitas sistem kontrak bagi KKKS (PSC Cost Recovery, PSC Gross Split, dan New Simplified Gross Split), kemudian adanya pemberian ruang perubahan skema kontrak dari Gross Split ke Cost Recovery, dan ketiga mekanisme negosiasi signature bonus yang disesuaikan dengan keekonomian proyek migas.

Selain itu, dalam upaya meningkatkan kemudahan berusaha dan efisiensi proses bisnis, khususnya di dalam aspek perizinan dan birokrasi di hulu migas, pemerintah juga telah mengambil sejumlah langkah yakni dengan deregulasi dan penyederhanaan perizinan di lingkup Kementerian ESDM untuk tahapan pra-eksplorasi melalui penerbitan Permen ESDM 23/2015, Permen ESDM 15/2016 dan Permen ESDM 29/2017 jo Permen ESDM 52/2018.


Kemudian, penerapan One Door Service Policy (ODSP) untuk pengurusan perizinan teknis di lingkup SKK Migas, dan kemudian pengembangan sistem perizinan terpadu Online Single Submission (OSS) di bawah koordinasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM yang diintegrasikan dengan Kementerian Teknis/Lembaga terkait.

“Terakhir penerbitan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta perubahannya menjadi UU No. 2 Tahun 2023, serta (5) penerbitan PP No. 5 Tahun 2021 dan PP No. 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko,” katanya.

Meski demikian, kata Komaidi, berbagai upaya tersebut belum sepenuhnya menyentuh akar masalah dan dapat menyelesaikan permasalahan kompleksitas birokrasi-perizinan khususnya terkait izin operasional untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. 

“Sejauh ini upaya penyederhanaan perizinan yang dilakukan khususnya melalui UU Cipta Kerja maupun deregulasi di tingkat Kementerian ESDM, lebih mengarah pada penyederhanaan persyaratan dan prosedur terkait perizinan yang lebih mengarah pada aspek legalitas usaha,” kata dia.

Menurutnya, penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) dalam kerangka OSS berfokus hanya pada aspek perizinan dasar dan persyaratan administratif untuk pendirian usaha. Sementara persoalan utama pada aspek perizinan dan birokrasi untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas lebih berada pada tahap operasionalnya.

Sementara itu, kebijakan One Door Service Policy (ODSP) masih terbatas pada izin atau rekomendasi yang berada di lingkungan SKK Migas.

Opsi untuk Perbaikan Kebijakan

Komaidi menambahkan, ReforMiner memandang perlu untuk dilakukan perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut agar berbagai upaya penerbitan kebijakan tersebut dapat lebih optimal di dalam mengatasi permasalahan perizinan yang ada.

Beberapa opsi di tingkat implementasi yang semestinya dapat dilakukan adalah Pertama, untuk kebijakan ODSP, perlu terus disempurnakan menjadi sistem perizinan terintegrasi (satu pintu) yang tidak hanya terbatas di dalam lingkup SKK Migas, tetapi menjangkau perizinan yang semula memang memerlukan persetujuan lintas kementerian-lembaga.
 
Dalam hal ini, perlu disederhanakan untuk menjadi satu pintu saja; dapat melalui SKK Migas atau BKPM. Hal ini mestinya dapat dipadukan dengan sistem digital terintegrasi (seperti OSS) yang mencakup seluruh perizinan hulu migas, yang implementasinya perlu dipercepat.
 
Lebih jauh, diperlukan peraturan perundangan (baru) yang lebih kuat untuk memberikan kewenangan yang lebih luas bagi SKK Migas atau BKPM di dalam melakukan pengurusan perizinan operasional di sektor hulu migas. 

Kedua, terkait tata waktu, perlu adanya payung hukum dan pengaturan yang tegas terkait batasan waktu dalam penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah 55/2009 tentang perubahan kedua Peraturan Pemerintah 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. 

Ketiga, proses penyederhanaan perizinan juga dapat disempurnakan dengan tidak hanya ditujukan untuk mengatur batasan waktu pengurusan, tetapi juga menyederhanakan aspek kewenangan dalam pemberian izin. 

Untuk sejumlah izin yang bersifat sangat teknis, kewenangan perizinan semestinya tidak memerlukan persetujuan berlapis sampai ke tingkat Menteri, tetapi dapat disederhanakan berhenti hanya di level birokrasi di bawahnya atau bahkan dilimpahkan kepada SKK Migas. 

Dalam hal yang berkaitan dengan perizinan daerah, untuk penyederhaan dan kemudahaan koordinasi, ada baiknya pemerintah menerbitkan pengaturan pelaksana lanjut terhadap ketentuan pasal 14 UU No 23/2014 (UU Pemerintahan Daerah), yang dalam hal ini mengatur bahwa segala bentuk perizinan pada dasarnya dapat dilimpahkan ke tingkat pemerintah pusat.

(Nur Ichsan Yuniarto)

SHARE