ECONOMICS

Jokowi Sebut SBN Tidak Dikuasai Asing Kunci Ekonomi RI Kokoh, Ini Penjelasannya

Maulina Ulfa - Riset 22/12/2022 14:04 WIB

Secara year to date (YTD), RI mengalami persentase capital outflow dari SBN sebesar 15,57%.

Jokowi Sebut SBN Tidak Dikuasai Asing Kunci Ekonomi RI Kokoh, Ini Penjelasannya. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, porsi kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi salah satu kunci kokohnya ekonomi makro RI.

Lebih lanjut Jokowi menyebut bahwa SBN pada saat tahun 2014-2015 sebesar 38,5% masih dikuasai oleh asing.

"Sekarang, tinggal 14,8% yang dikuasai asing. Karena kalau masih dikuasai asing, begitu goyah sedikit makro kita, keluar berbondong-bondong mereka, goyah pasti kurs kita. Ini upaya-upaya yang kita lakukan," ujar Jokowi dalam Outlook Perekonomian Indonesia 2023 di Jakarta, Rabu (21/12/2022).

Dia mengatakan bahwa pada periode 2014-2015, Indonesia masih termasuk dalam golongan fragile state, atau masih dimasukkan dalam negara-negara yang rentan untuk terpuruk bersama 5 negara lain.

"Kalau kita ingat, ada taper tantrum dan kalau kita lihat angka detail di 2014-2015, defisit transaksi berjalan kita berada di angka USD27,5 miliar di 2014. Di 2015, angkanya berada di USD17,5 miliar. Kalau kita lihat lagi lebih detail, di 2014 neraca dagang kita masih defisit USD2,2 miliar," ungkap Jokowi.

Oleh sebab itu, dirinya menyampaikan kepada para menteri supaya harus berani merubah ini, mereformasi struktural RI, termasuk urusan SBN.

Alhasil, neraca transaksi berjalan RI di kuartal III-2022 sudah surplus USD8,9 miliar. Ini mencakup 0,9% dari PDB Indonesia.

"Artinya perbaikan-perbaikan itu betul-betul nyata dan kelihatan dalam angka-angka. Saya selalu pasti meminta angka," pungkas Jokowi. 

Kepemilikan SBN Sepanjang 2022

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) aliran dana asing yang keluar atau biasa dikenal dengan capital outflow dari negara pendapatan rendah menuju menengah atau emerging market mencapai Rp148,11 triliun sejak Januari hingga September 2022.

Adapun Indonesia sendiri kehilangan sebesar Rp16,3 triliun per September 2022.

Di lain sisi, proporsi kepemilikan asing di SBN memang sudah mengalami penurunan setidaknya sejak 2020 lalu. Data pada akhir 2020, SBN dengan kepemilikan non-residensial tercatat sekitar 25,16% atau sebesar Rp956,42 triliun.

Sementara hingga akhir 2021, nilainya kembali menyusut sebesar Rp874,64 triliun atau sebesar 22,79%. Namun per 20 Desember lalu, asing hanya memiliki SBN sekitar belasan persen saja. Per 20 Desember lalu, kepemilikan asing di SBN mencapai 14,72% atau sebesar Rp738,45 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)

Secara year to date (YTD), RI telah kehilangan capital outflow dari SBN sebesar 15,57% dibandingkan akhir Desember 2021.

Kondisi ekonomi global yang tengah dilanda ketegangan geopolitik, kenaikan suku bunga signifikan, hingga ketakutan resesi diduga menyebabkan investor asing meninggalkan Indonesia.

Sementara Bank Indonesia (BI) juga mencatatkan aliran modal asing masuk (capital inflow) ke pasar keuangan Indonesia sebesar Rp 1,77 triliun di pekan kedua Desember 2022. Dengan adanya tambahan investasi tersebut, total inflow RI mencapai Rp73,27 triliun secara year-to-date.

Namun demikian, angka ini lebih rendah dari outflow yang mencapai Rp140,6 triliun di periode yang sama.

Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi tantangan arus modal keluar ini.

China adalah salah satu contoh negara yang harus menghadapi arus modal keluar jumbo mencapai USD8,8 miliar pada Oktober tahun ini di tengah gonjang-ganjing ekonomi negeri Tirai Bambu yang tengah memuncak.

Investor asing menarik dana sebesar itu dari saham dan obligasi China pada Oktober. Mengutip SCPM, kondisi ini disebut mencerminkan perubahan sentimen atas kekhawatiran geopolitik dan kecemasan atas kebijakan zero Covid-19 Beijing berdasarkan analisis Institute of International Finance (IIF).

Adapun arus modal keluar dari pasar saham China juga mencapai USD7,6 miliar pada Oktober, dengan sisa USD1,2 miliar dihapus dari pasar obligasi, kata IIF yang berbasis di AS pada November lalu.

Sementara arus keluar modal tercatat hanya USD700 juta dari pasar saham China pada bulan September, menurut data dari IIF.

Obligasi pemerintah biasanya merupakan instrumen investasi dengan risiko rendah. Namun, jenis investasi ini juga memberikan imbal hasil yang sangat rendah bagi pemegang obligasi.

Obligasi memang bisa berisiko karena risiko geopolitik, ketidakstabilan ekonomi, atau fluktuasi mata uang asing.

Obligasi pemerintah dipengaruhi oleh kebijakan fiskal pemerintah, pengelolaan sumberdaya alam jika ada, dan keseimbangan neraca berjalan. Faktor-faktor ini, pada gilirannya, mempengaruhi imbal hasil obligasi.

Selain itu, risiko fluktuasi mata uang dapat mempengaruhi nilai obligasi pemerintah. Jika investor menyimpan investasi dalam dolar, posisi mereka akan relatif dipengaruhi oleh stabilitas mata uang di mana obligasi didenominasikan.

Kondisi ini dapat memengaruhi pengembalian total pendapatan dan apresiasi harga.

Melansir Bloomberg, kondisi pasar obligasi Indonesia sebenarnya menjadi primadona dan mengungguli sebagian besar negara berkembang di Asia sepanjang tahun ini. Bahkan sejumlah investor meyakini kinerja obligasi masih menarik di tahun depan.

“Obligasi Indonesia relatif menarik dibandingkan negara-negara berkembang di Asia, dengan imbal hasil riil yang lebih tinggi daripada negara-negara seperti India dan Thailand. Ketika tekanan inflasi mereda di AS dan The Fed memperlambat laju kenaikan suku bunga, rupiah kemungkinan akan diuntungkan dari aliran portofolio obligasi,” kata Johnny Chen, manajer keuangan di William Blair Investment in Singapura, mengutip Bloomberg, (16/12)

Namun, anomali terjadi pada SBN atau obligasi yang diterbitkan negara di mana terlihat investor asing sepertinya lebih memilih untuk meninggalkan RI di aset investasi ini. (ADF)

SHARE