Jokowi Tegaskan Posisi Negara Berkembang dalam Penanganan Peningkatan Suhu Global
negara-negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan bantuan dalam bidang teknologi dan investasi hijau, terkait percepatan penurunan emisi.
IDXChannel - Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menguraikan konsep kerja sama yang harusnya bisa dijalin antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang dalam upaya penanganan peningkatan suhu global.
Hal tersebut disampaikan Jokowi saat hadir dalam rangkaian kegiatan hari pertama gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, di India, Sabtu (9/9/2023).
Menurut Jokowi, negara-negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan bantuan dalam bidang teknologi dan investasi hijau, terkait percepatan penurunan emisi di level internasional.
"Kami negara-negara berkembang, sangat ingin mempercepat penurunan emisi. Tapi kami butuh dukungan untuk alih teknologi dan investasi hijau," ujar Jokowi, di hadapan para pemimpin negara-negara G20 dan ketua organisasi internasional yang juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Tak hanya soal alih teknologi, Jokowi juga menegaskan bahwa pendanaan dalam percepatan penurunan emisi juga sangat penting untuk disegerakan.
Terkait hal itu, berbagai kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta perlu dilanjutkan karena diyakini dapat membawa perubahan besar dalam penurunan emisi.
"Tahun lalu di Bali, Indonesia telah menginisiasi G20 Bali Global Blended Finance Alliance, skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Ini harus diperluas dan diperbesar," tutur Jokowi.
Karenanya, Jokowi menyatakan perlunya standar global seperti dalam hal pengelompokan kegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah praktik greenwashing.
"Dibutuhkan standar global, seperti taksonomi untuk mencegah praktik greenwashing. Reformasi Bank Pembangunan Multilateral (MDB) harus juga merefleksikan representasi negara-negara anggotanya," ungkap Jokowi.
Namun, di lain pihak, Jokowi mengkritik komitmen negara-negara maju dalam penanganan perubahan iklim global, yang dirasa masih sangat minim dan terkesan sebatas retorika semata.
Keluhan tersebut didasarkan Jokowi pada data pelaksanaan penurunan emisi yang terbilang masih sangat terbatas, lantaran belum banyak negara yang melakukannya.
"Komitmen pendanaan negara maju masih sebatas retorika dan di atas kertas, baik itu pendanaan climate USD100 miliar per tahun, maupun fasilitas pendanaan loss and damage," papar Jokowi.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga memaparkan sejumlah upaya yang dapat dilakukan berbagai negara, khususnya yang tergabung dalam G20, guna mengatasi peningkatan suhu bumi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan, menurut Jokowi, adalah melalui percepatan transisi ekonomi rendah karbon, yang sayangnya masih belum banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia.
Padahal, tren peningkatan suhu sebagai dampak perubahan iklim secara global terbukti terus terjadi dan sangat sulit untuk dikendalikan.
"Bumi kita sedang sakit. Pada Juli 2023 lalu, suhu dunia mencapai titik tertinggi dan diprediksi akan terus naik dalam lima tahun ke depan. Ini akan sulit ditahan, kecuali dunia menghadangnya secara masif dan radikal," tegas Jokowi.
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi didampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. (TSA)