ECONOMICS

Jutaan Ha Lahan Karet Bakal Diubah Jadi Kebun Sawit, Begini Kata Gapkindo

Wahyudi Aulia Siregar 03/07/2025 17:52 WIB

Pemerintah berencana mengonversi 2 juta hektare (ha) lahan karet yang tak produktif menjadi areal perkebunan sawit.

Pemerintah berencana mengonversi 2 juta hektare (ha) lahan karet yang tak produktif menjadi areal perkebunan sawit. (Foto: iNews Media Group)

IDXChannel - Pemerintah berencana mengonversi 2 juta hektare (ha) lahan karet yang tak produktif menjadi areal perkebunan sawit. Rencana ini pun mendapatkan respons dari Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo).

Sekretaris Eksekutif Gapkindo Sumatera Utara, Edy Irwansyah mengatakan, rencana konversi lahan tersebut bakal mematikan industri karet nasional. Dia menilai, penyusutan luas lahan karet sebagai penyangga utama dari sisi hulu berpotensi mengancam ekosistem industri karet.

Edy menyebut, pabrik pengolahan karet akan tutup karena kesulitan bahan olah karet (bokar). Pada gilirannya hal tersebut berdampak pada PHK di industri dan petani lokal akan menjadi miskin. Akhirnya, posisi Indonesia sebagai salah satu produsen karet alam terbesar di dunia akan kehilangan posisi strategis globalnya. 

Menurut Edy, konversi lahan secara masif akan mengurangi ketersediaan bokar dari petani dan perusahaan perkebunan, yang selama ini menjadi sumber utama pasokan untuk pabrik. 

"Semua pabrik dalam posisi rentan. Jika pabrik-pabrik ini tutup permanen, maka seluruh rantai pasok dari petani hingga industri hilir akan terputus, menghentikan aktivitas ekonomi yang telah berlangsung selama puluhan tahun," kata Edy, Kamis (3/7/2025).

"Selain itu, usaha mikro dan kecil yang bergantung pada aktivitas pabrik, seperti warung, angkutan, dan logistik lokal juga akan terdampak. Ekonomi daerah yang sangat tergantung pada komoditas karet akan mengalami pelemahan drastis, menurunkan daya beli masyarakat dan meningkatkan risiko kemiskinan struktural," ujarnya.

Edy kemudian mengatakan tidak semua daerah penghasil karet cocok untuk budidaya komoditi selain karet. Banyak petani yang berada di dataran tinggi, tanah marginal, atau daerah berlereng curam tidak memiliki pilihan lain selain tetap menanam karet.

Akan tetapi, ketika pasar lokal menghilang karena tutupnya industri pengolahan, petani-petani ini menjadi kelompok yang paling dirugikan. Mereka kehilangan akses pasar, insentif untuk merawat kebun, dan mengalami tekanan ekonomi yang makin berat. 

"Ketimpangan antarwilayah pun semakin melebar karena tidak semua daerah memiliki alternatif komoditas pengganti yang layak," katanya.

Edy menuturkan, Indonesia memiliki sekitar 14 pabrik ban yang sangat bergantung pada pasokan karet remah (SIR) dari dalam negeri. Apabila bahan baku ini semakin sulit didapat akibat konversi lahan, maka industri ban terpaksa mengandalkan impor. 

Hal ini akan menimbulkan lonjakan biaya produksi, meningkatkan ketergantungan pada negara lain, dan menurunkan daya saing produk ban nasional. 

"Dalam jangka panjang, tekanan ini bisa menghambat pertumbuhan industri otomotif nasional dan melemahkan kontribusi sektor manufaktur berbasis karet terhadap ekonomi Indonesia," ujarnya.

>

(Rahmat Fiansyah)

SHARE