ECONOMICS

Kasus Alat Antigen Bekas, BPKN: Perlu Ada Evaluasi Berkala Pada Seluruh Penyelenggara Tes

Oktiani Endarwati 03/05/2021 20:38 WIB

Badan Perlindungan Konsumen Nasional menilai kasus penggunaan alat rapid test antigen bekas melanggar hak masyarakat Indonesia sebagai konsumen.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional menilai kasus penggunaan alat rapid test antigen bekas melanggar hak masyarakat sebagai konsumen. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai kasus penggunaan alat rapid test antigen bekas (daur ulang) melanggar hak masyarakat Indonesia sebagai konsumen untuk mendapatkan keamanan, keselamatan dalam memanfaatkan layanan jasa rapid test antigen. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan berkala terhadap proses penanganan Covid-19 di titik keberangkatan dan kedatangan baik di jalur darat, udara, dan laut.

Ketua BPKN Rizal E Halim mengatakan, kejadian penggunaan alat rapid test antigen bekas di Bandara Internasional Kualanamu Medan dan mafia karantina di Bandara Soekarno Hatta menjadi insiden buruk bagi usaha pemerintah dalam memerangi virus Covid-19. 

"Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fasilitas di ruang public yang menyelenggarakan tes antigen/PCR-Swab. Perlu dipastikan proses penanganan dan verifikasi tes berjalan dengan baik guna menghindari kasus yang terjadi di Kualanamu," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (3/5/2021).

Rizal berharap polisi dan juga pemerintah menindak serius kasus Kualanamu dan bandara Soetta, karena sangat membahayakan keselamatan dan kesejahteraan konsumen dan juga berpotensi menularkan virus Covid-19.

"Sudah jadi langkah wajib bagi pemerintah untuk mengambil langkah tegas dan juga transparan agar dampak tersebut tidak meluas. Konsumen juga dituntut untuk lebih teliti dan memahami tentang alat tes Covid-19 demi keselamatan bersama. BPKN RI akan terus memantau dan mengawasi proses penanganan kasus Kualanamu dan Bandara Soetta," ungkapnya.

Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN Renti Maharaini mengatakan, kejadian tersebut jelas merupakan pelanggaran Pasal 7 jo.Pasal 8 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya, yaitu untuk beritikad baik dalam pelayanan rapid test antigen yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa layanan serta alat rapid test antigen tersebut adalah benar-benar baru bukan bekas.

"Terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan tindakan/perbuatan pemalsuan alat rapit test antigen dapat dikenakan sanksi pidana maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal Rp2 miliar," tuturnya. (TIA)

SHARE