Kejar Target Transisi Energi, RI Kebut Kendaraan Setrum hingga Kompor Induksi?
Pemerintah terkesan ‘tancap gas’ soal mengganti transportasi hingga kompor menggunakan listrik.
IDXChannel - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Instruksi Presiden (Inpres) tentang penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas operasional pemerintah pusat dan daerah.
Inpres Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu ditandatangani Jokowi pada 13 September 2022.
Instruksi ini ditujukan ke seluruh Menteri Kabinet Indonesia Maju, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para kepala lembaga pemerintah non-kementerian, para pimpinan kesekretariatan lembaga negara, para gubernur, serta para bupati/wali kota.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir menginstruksikan 84 perusahaan pelat merah agar memberikan dukungan akselerasi kendaraan listrik berbasis baterai di Indonesia (Battery Electric Vehicle/BEV).
Instruksi itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor S- 565/MBU/09/2022 tentang Dukungan Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Beleid ini diterbitkan pada 12 September 2022.Tak lama berselang, Pemerintah akan mengonversi kompor gas ke kompor listrik induksi untuk rumah tangga. Konversi ini disebut menjadi upaya mengurangi subsidi elpiji 3 kilogram yang ternyata banyak dinikmati masyarakat golongan mampu. Intinya, pemerintah berniat menyetop impor LPG pada tahun 2030.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebut, telah menyiapkan program konversi tahun depan dengan menyasar 5 juta keluarga penerima manfaat. Ia mengklaim program konversi ini bisa menghemat anggaran negara.
Pemerintah dalam hal ini akan mengurangi peredaran elpiji 3 kg secara bertahap terutama di wilayah yang memperoleh jatah penyediaan paket kompor listrik induksi secara gratis. Namun demikian, terdapat sejumlah kendala dalam konversi kompor gas ke kompor listrik.
Semua Beralih ke Listrik, Siapa Cuan?
Pemerintah terkesan ‘tancap gas’ soal mengganti transportasi hingga kompor menggunakan listrik. Kebijakan ini hampir serentak dikeluarkan dalam periode yang berdekatan. Efek kejut berbagai kebijakan ini juga tak terhindarkan. Mulai dari pasar hingga masyarakat biasa meresponnya dengan pro maupun kontra. Lantas bagaimana sebenarnya multiplier effect kebijakan ini bagi industri nasional?
Jika dilihat secara umum, kebijakan peralihan kendaraan listrik dan kompor induksi ini akan menguntungkan dua sektor utama, khususnya otomotif dan sektor industri logam, mesin, alat transportasi dan elektronika (ILMATE).
Di sektor otomotif, berdasarkan keterangan Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Shodiq Wicaksono, industri otomotif nasional membutuhkan transisi sebelum penuh menuju mobil listrik, mengutip website GAIKINDO (22/09).
Menurutnya, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal atau internal combustion engine, (ICE) ke battery electric vehicle (BEV) sangat radikal. Bahkan, itu akan mengubah struktur industri otomotif nasional mulai dari manufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen.
Berdasarkan keterangan Kementerian ESDM, Indonesia memiliki target produksi kendaraan listrik yang cukup ambisius. Pemerintah Indonesia menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 3 juta unit motor listrik pada 2030.
Dari sisi bisnis, pangsa mobil listrik cukup menjanjikan. Menurut kajian IESR, melalui penerapan kebijakan dan regulasi yang mendukung hingga 2050, pangsa pasar kendaraan listrik dapat mencapai 85% untuk mobil setrum dan 92% untuk motor listrik. (Lihat tabel di bawah ini.)
Kementerian Perindustrian (Kemenperin), mematok target yang lebih ambisius, yaitu 13 juta kendaraan roda dua dan 2 juta kendaraan roda empat pada tahun 2030.
Hingga Maret 2022, penjualan mobil jenis HEV tercatat yang tertinggi yakni mencapai 646 unit. Di tahun sebelumnya, penjualan HEV tercatat paling tinggi sejak 2019 mencapai 2.472 unit. (Lihat tabel di bawah ini.)
Adapun sebanyak 1.594 unit kendaraan teknologi elektrifikasi (electric vehicle, EV) laku terjual dipameran otomotif GAIKINDO Indonesia International Auto Show atau GIIAS 2022. Angka tersebut melampaui penjualan sepanjang 2021.
Beberapa emiten energi juga mencoba peruntungan dengan adanya kebijakan kendaraan listrik ini. Seperti Indika Energy (INDY), perusahaan batu bara yang baru saja meluncurkan motor listrik mereka dengan merk Alva.
Ada pula kerja sama GoTo Grup (GOTO) dan TBS Energi Utama (TOBA), yang terafiliasi dengan Luhut Binsar Pandjaitan, mendirikan joint venture (perusahaan patungan) pengembangan bisnis motor listrik, PT Energi Kreasi Bersama.
Perusahaan konstruksi pelat merah, Wijaya Karya (WIKA) juga menjadi produsen kendaraan listrik Gesits melalui PT. Gesits Technology Indo (GTI).
Sementara untuk kompor induksi, pemerintah bakal memberikan paket kompor listrik gratis kepada 300.000 rumah tangga miskin yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pada tahun ini. Masing-masing rumah tangga itu akan mendapatkan paket kompor listrik senilai Rp2 juta.
Dampak dari perpindahan menuju kompor induksi ini juga akan semakin memperkokoh sektor industri logam, mesin, alat transportasi dan elektronika (ILMATE).
Pertumbuhan sektor ini pada kuartal II tahun 2022 sebesar 6,65%, menurut Kemenperin. Kinerja ini melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,44% pada periode yang sama.
“Dilihat dari kontribusinya, sektor ILMATE memegang peranan sebesar 3,87% terhadap perekonomian nasional, dan 24,17% terhadap industri pengolahan nonmigas,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal ILMATE Kemenperin, M. Arifin, Kamis (25/8).
Beberapa taipan akan semakin meraih cuan dampak dari kebijakan perpindahan kompor listrik ini. Di antaranya Hartono bersaudara selaku produsen kompor listrik PT Hartono Istana Teknologi atau yang biasa dikenal dengan merk dagang Polytron.
Tak hanya Polytron, sudah ada 5 perusahaan yang menyatakan minat untuk memproduksi kompor induksi dengan kapasitas 300 ribu hingga 1,2 juta per tahun, menurut Direktur Jenderal ILMATE Kemenperin.
Pada 2023 beberapa korporasi, seperti PT Adyawinsa Electrical and Power akan memproduksi 1,2 juta perangkat, PT Maspion Elektronik, akan memproduksi 300 ribu perangkat.
Nama lainnya, PT Hartono Istana Teknologi akan memproduksi 1 juta perangkat. Ada pula PT Selaras Citra Nusantara Persada akan memproduksi 300 ribu perangkat, serta PT Sutrado memproduksi 1 juta perangkat.
Di samping itu, ada sekitar 6 perusahaan lain yang berminat memproduksi kompor induksi. Di antaranya, PT Rinnai Indonesia, PT Star Cosmos, PT Sanken Argadwija, PT Kencana Gemilang, PT Teka P&T International, dan PT Winn Appliance.
Ekosistem Kendaraan Setrum dan Kompor Listrik Butuh Diperkuat
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengatakan paket kompor induksi dan alat masaknya diberikan secara percuma kepada pelanggan yang memiliki daya listrik 450 VA dan 900 VA.
Tak hanya itu, pelanggan juga akan mendapatkan fasilitas bebas instalasi dan penambahan daya listrik gratis. Bagi pelanggan yang memiliki daya listrik 450 VA akan ditingkatkan menjadi 3.500 VA, sementara 900 VA bakal dinaikkan jadi 4.400 VA. PLN akan membuat saluran listrik baru di dalam rumah.
PLN menegaskan selisih tambahan daya listrik ini hanya bisa digunakan untuk kompor induksi, tidak bisa untuk keperluan lainya.
Selama ini, pro dan kontra muncul dari masyarakat yang menilai dengan menggunakan kompor induksi, maka daya listrik akan dinaikkan dan menambah beban pembayaran listrik.
Pola transisi ini sebenarnya mirip dengan kebijakan peralihan kompor minyak tanah menuju kompor gas LPG di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jika memperhatikan polanya, tantangan terberat adalah mengubah kebiasaan atau budaya masyarakat dalam menggunakan kompor untuk kegiatan sehari-hari.
Di sisi kendaraan listrik, Indonesia sebenarnya juga belum terlalu siap sepenuhnya terutama dalam infrastruktur. Meskipun penjualan mobil listrik meningkat, tapi belum didukung dengan infrastruktur yang mumpuni.
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM mencatat ada 267 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Charging Station hingga akhir 2021. Jika dilihat dari wilayahnya, mayoritas atau 101 unit berada di DKI Jakarta.
Selanjutnya, Jatim, Bali & Nusa Tenggara digabung memiliki 43 unit. Jawa Barat memiliki total 37 unit dan Banten memiliki 20 unit.
Lalu, Jawa Tengah dan DIY memiliki total 27 unit. Sumatra memiliki 21 unit dan Banten 20 unit. Terakhir, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku memiliki 18 unit SPKLU. (Lihat tabel di bawah ini.)
Pada 2022, Indonesia menargetkan total SPKLU dapat mencapai 580 unit. Jumlah ini untuk mengakomodasi kendaraan listrik berbasis baterai yang diprediksi dapat mencapai 5.879 unit.
Indonesia menargetkan akan ada 24.720 unit SPKLU pada 2030. Jika pemerintah menargetkan kendaraan listrik sebanyak lima juta unit (mobil dan motor listrik), maka rasio SPKLU dan jumlah kendaraan yang ada adalah 1unit SPKLU banding 200 kendaraan listrik.
Belum lagi, isu pemerataan infrastruktur yang masih terpusat di kota besar seperti Jakarta menyebabkan akses SPKLU jadi terbatas dan tidak merata.
Jika dibandingkan salah satu negara pengguna kendaraan listrik, yakni Norwegia, jumlah ini tidak sebanding. Norwegia menerapkan kebijakan intensifikasi infrastruktur kendaraan listrik dengan membangun jaringan pengisian daya jauh sebelum kendaraan listrik masuk ke pasar otomotif di negara itu.
Pada 2013, sebanyak 4.029 SPKLU dan 127 titik fast-charging kendaraan listrik Norwegia dipersiapkan bahkan jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah kendaraan listrik saat itu yang hanya 9.500 unit.
Di akhir 2020, mengutip situs Parlemen Norwegia, terdapat lebih dari 330.000 mobil listrik baterai (BEV) yang terdaftar di negara ini.
Bernarkah untuk Kepentingan ‘Transisi Energi’?
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko mengatakan, Inpres kendaraan listrik merupakan wujud komitmen pemerintahan Jokowi dalam melakukan transisi energi, dari energi fosil ke energi baru terbarukan.
"Kendaraan listrik adalah bagian dari desain besar transisi energi, dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Untuk mewujudkan desain besar itu, pemerintah memulainya dengan melakukan transisi dan konversi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik," kata Moeldoko dalam keterangannya, Kamis (15/9/2022).
Pemerintah berdalih percepatan penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik ini untuk mencapai target netral karbon atau net zero emission pada tahun 2060.
Tapi jika di telistik lagi, produksi listrik Indonesia masih ditopang oleh energi batu bara yang dianggap tidak ramah lingkungan.
Mengutip wesite Kementerian ESDM, kapasitas pembangkit listrik hingga bulan Juni 2021 sebesar 73.341 MW masih mengandalkan pembangkit berbasis fosil sebagai penopang produksi listrik, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara.
"Secara generation cost, PLTU memang masih murah. Jadi biar tarif listriknya tidak mahal ke rakyat sehingga meningkatkan daya beli masyarakat dan membuat industri makin kompetitif," ungkap Rida.
Pada komposisi tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mendominisasi sebesar yaitu 47% atau sekitar 34.856 MW, disusul Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 20.938 MW (28%), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 6.255 MW (9%), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) 4.932 MW (7%), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 2.174 MW (3%), Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTU M/G) 2.060 MW (3%), dan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan (PLT EBT) lainnya 2.215 MW (3%).
Sementara dari sisi produksi listrik, realisasi volume PLTU hingga periode yang sama jauh lebih besar sebesar, yaitu 65,30% dengan kebutuhan batubara sebesar 32,76 juta ton.
Sisanya dipasok dari gas 17% (184.079 BBTU), Air 7,05%, Panas Bumi 5,61%, BBM 3,04%, BBN 0,31%, Biomassa 0,18%, Surya 0,04% dan EBT lainnya 0,14%.
Polemik kelebihan pasokan (oversupply) listrik juga masih menjadi persoalan pelik PLN. Di tahun ini kondisi surplus listrik PLN mencapai 6 gigawatt (GW) dan akan bertambah menjadi 7,4 GW di 2023, bahkan diperkirakan mencapai 41 GW di 2030.
Di dalam kontrak jual-beli listrik dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP), terdapat skema take or pay, artinya dipakai atau tidak dipakai listrik yang diproduksi IPP, PLN tetap harus membayar sesuai kontrak.
Oleh sebab itu, kelebihan suplai listrik tersebut akan semakin membebani PLN. Wacana menaikkan daya listrik penerima subsidi untuk menyerap listrik PLN mencuat untuk mengatasi kondisi oversupply. Termasuk diduga disalurkan untuk pemenuhan daya kompor induksi yang akan datang.
Sementara, emisi dari sektor kelistrikan dan batu bara menjadi penyumbang utama emisi di Indonesia. Penggerak terbesar dari keseluruhan emisi gas rumah kaca (GRK) adalah sektor listrik sebesar 35%, diikuti oleh transportasi dan industri masing-masing sebesar 27%.
Di Indonesia, emisi telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1990, mencapai level tertinggi 620 MtCO2 pada tahun 2018. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sumber: Climate Transparency 2021
Alih-alih untuk pengurangan emisi, intensifikasi penggunaan listrik justru bisa menjadi bom emisi buat Indonesia jika sumber listrik yang digunakan masih dari energi fosil.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru untuk mengganti semua serba listrik. Bisa dimulai dari sektor hulu dengan menemukan energi alternatif untuk pembangkit listrik. (ADF)