Kepemilikan SBN Capai 25,12 Persen, BI Dinilai Berperan Jaga Stabilitas Fiskal
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai tingginya porsi kepemilikan BI ini menjadi cerminan peran krusial BI sebagai stabilisator pasar.
IDXChannel - Kepemilikan Bank Indonesia (BI) atas Surat Berharga Negara (SBN) domestik per 18 November 2025 telah mencapai Rp1.632,12 triliun, menjadikannya pemilik SBN domestik terbesar dengan porsi 25,12 persen.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai tingginya porsi kepemilikan BI ini menjadi cerminan peran krusial BI sebagai stabilisator pasar, terutama di tengah kurangnya minat investor asing.
"Dengan kata lain, Bank Indonesia berperan menggantikan kepemilikan asing selama beberapa tahun ini," kata Awalil dalam risetnya, Selasa (25/11/2025).
Awalil menjelaskan, peningkatan signifikan kepemilikan ini terjadi sejak masa pandemi melalui mekanisme burden sharing, di mana BI membantu membiayai fiskal Pemerintah.
Meskipun terjadi perdebatan mengenai kelanjutan kesepakatan burden sharing senilai Rp200 triliun yang sempat disepakati sebelumnya, peran BI tetap vital untuk menjaga kesinambungan pembiayaan negara.
Selain itu, Awalil menyoroti bahwa sebelum pandemi (akhir 2019), kepemilikan asing atas SBN domestik mencapai 38,57 persen atau Rp1.061,86 triliun.
Namun, per 18 November 2025, kepemilikan asing turun drastis menjadi hanya 13,36 persen atau Rp868,21 triliun, bahkan mencatat jual neto selama 2025 berjalan.
Kepemilikan SBN dalam jumlah besar oleh BI bertujuan ganda yakni mencegah gejolak di pasar sekunder SBN yang dapat menyebabkan penurunan harga atau kenaikan yield secara liar, yang akan berdampak pada indikator moneter dan keuangan.
Sehingga, pembelian SBN menjadi bagian dari upaya BI mengendalikan volatilitas nilai tukar rupiah dan suku bunga, yang pada gilirannya menjaga inflasi.
Menurut Awalil, program burden sharing dan pembelian SBN oleh BI sangat menguntungkan pemerintah karena mempermudah pengelolaan fiskal.
Dengan BI memegang SBN dalam jumlah besar, proses revolving atau debt switching (pertukaran utang) SBN yang akan jatuh tempo menjadi lebih mudah dilakukan, terutama jika pasar SBN global sedang tidak kondusif.
Kondisi ini secara tidak langsung mendukung pembiayaan program-program prioritas Pemerintah saat ini, termasuk program baru Presiden Prabowo.
Meskipun ada risiko ketergantungan fiskal terhadap kebijakan BI, Awalil menilai kepercayaan pelaku pasar terhadap Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masih terjaga.
"Untuk mengatasi kondisi terkini dan tantangan 2026, Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnya makin bersinergi dan terkoordinasi," kata dia.
Awalil menekankan bahwa sinergi ini harus tetap menjaga independensi BI agar setiap kebijakan ditimbang dari berbagai aspek perekonomian, dan tidak semata-mata mengikuti ambisi fiskal yang berbiaya besar.
(NIA DEVIYANA)