Kerugian Negara Imbas Korupsi Timah Capai Rp271 Triliun, dari Mana Hitungannya?
Kasus Korupsi tata niaga timah di PT Timah (TINS) periode 2015-2022 menjadi sorotan publik.
IDXChannel - Kasus Korupsi tata niaga timah di PT Timah (TINS) periode 2015-2022 menjadi sorotan publik. Pasalnya, nilai kerugian negara diprediksi mencapai Rp271 triliun dan disebut sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia.
“Sepanjang sepemahaman saya Kerugian Negara dalam konteks kerugian lingkungan tidak termasuk dalam kerugian negara yang didefinisikan oleh UU Keuangan negara atau Perbendaharaan Negara,” kata Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman Bidang Ilmu Akuntansi Sektor Publik Agus Joko Pramono kepada wartawan, Selasa (2/4/2024).
Menurutnya, berdasarkan definisi tersebut, tidaklah tepat apabila kerusakan lingkungan dijadikan sebagai dasar kerugian negara.
“Definisi menurut undang-undang, kekurangan uang, surat berharga dan/ barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik secara sengaja maupun lalai. Barang dimaksud adalah Barang milik negara tercatat. Jadi nilainya tidak sesuai dengan definisi undang-undang,” tambahnya.
Sebelumnya Kejagung pada 19 Februari 2024 menghadirkan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Dia melakukan penghitungan kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel) imbas dari dugaan korupsi.
Menurut Bambang, angka kerugian itu mencapai Rp271.069.688.018.700 atau Rp271 triliun. Kemudian dari mana hitungannya?
Bambang menjelaskan angka Rp271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan. Dia merinci perhitungan kerugian dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan. Rinciannya sebagai berikut.
Kerugian Kawasan Hutan, kerugian lingkungan ekologisnya Rp157,83 triliun, ekonomi lingkungannya Rp60,276 triliun, pemulihannya itu Rp5,257 triliun. Total untuk yang di kawasan hutan adalah Rp223.366.246.027.050.
Kerugian Non Kawasan Hutan yaitu biaya kerugian ekologisnya Rp25,87 triliun, kerugian ekonomi lingkungannya Rp15,2 triliun, biaya pemulihan lingkungan Rp6,629 triliun, sehingga total untuk untuk non kawasan hutan APL adalah Rp47,703 triliun
"Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah 271.069.687.018.700," kata Bambang dalam jumpa pers bersama Kejagung saat itu.
Penggunaan dampak ekologis untuk menentukan kerugian negara memang mengundang polemik dan dinilai tidak lazim. Sebelum Agus Joko Pramono, sejumlah pakar mengkritik metode yang digunakan Kejagung.
Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ) Andri Gunawan Wibisana, mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.
"Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri dalam keterangan tertulis, Kamis (29/2/2024).
Terpisah, pakar hukum Pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Nella Sumika Putri, mengatakan dalam konteks tipikor atau pidana korupsi, yang berhak menghitung dan menetapkan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas permintaan penyidik bisa kejagung, tipikor bareskrim atau KPK.
Sedangkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya berwenang melakukan pemeriksaan dan audit sedangkan terkait kerugian negara tetap wewenang konstitusional pada BPK.
“Posisinya Pak Bambang Hero dalam kontek yang mana? Apakah dia bagian dari BPK, BPKP, atau KPK? Jadi ini rezimnya yang mana nih? Nah, saya juga gak paham apakah dia menggunakan pintu kerusakan lingkungan untuk mencari tipikor atau bagaimana nih, padahal diantara keduanya terdapat ‘rezim’ tindak pidana khusus yang berbeda,” pungkasnya.
(SLF)