Laporan Ekonomi Digital Google-Temasek: Investasi Startup Turun, Permintaan Pinjol Naik
Ekonomi digital di Asia Tenggara dan Indonesia diramalkan akan tetap solid hingga 2030.
IDXChannel - Ekonomi digital di Asia Tenggara dan Indonesia diramalkan akan tetap solid hingga 2030. Hal ini terungkap dalam hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company dalam e-Conomy SEA 2023.
Riset tersebut mengungkapkan, ekonomi digital Asia Tenggara dalam perjalanannya menuju profitabilitas, mencapai pendapatan USD100 miliar pada 2023.
Secara khusus, ekonomi digital Indonesia diramalkan akan mencapai Gross Merchandise Value (GMV) atau nilai penjualan kotor barang dan jasa sebesar USD110 miliar (setara Rp1,7 kuadriliun) di 2025.
Adapun pada 2023, sektor e-commerce Indonesia akan meraih GMV senilai USD62 miliar (Rp971 triliun) dengan kenaikan sebesar 7 persen dibandingkan tahun lalu.
Diproyeksikan sektor e-commerce masih akan bertumbuh sebesar 15 persen dari 2023 ke 2025 dengan capaian GMV USD82 miliar.
Meski demikian, dua aspek yang menarik dalam laporan Google ini adalah turunnya nilai investasi di industri digital dan peningkatan pinjaman digital atau yang lebih populer dengan sebutan pinjaman online (pinjol).
Investasi Turun, Pinjol Naik
Berdasarkan laporan terbaru Google, jumlah investasi di bidang perusahaan rintisan (startup) dan ekosistem digital secara keseluruhan mengalami penurunan sepanjang tahun ini.
Pendanaan untuk startup terus menunjukkan tren menurun setelah mencapai rekor tertinggi pada 2021. Laju pendanaan hanya mencapai USD4 miliar sepanjang paruh pertama tahun ini di kawasan Asia Tenggara. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sepanjang 2022, pendanaan private funding untuk startup mencapai USD22 miliar, juga menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai USD27 miliar. Jumlah kesepakatan investasi yang dibuat juga menurun drastis hanya mencapai 564 kesepakatan.
Penurunan pendanaan terjadi di semua tahap, di mana aliran kesepakatan tahap akhir menunjukkan perlambatan paling tajam. Diketahui dalam startup terdapat periode putaran pendanaan yang terdiri dari Early stage, Growth stage dan Late stage.
Dalam Early stage biasanya mencakup pendanaan Seed dan Series A. Di fase Growth stage ada series pendanaan Series B dan C, dan di sesi Late stage ada pendanaan Series D dan E. Nampaknya, tidak banyak startup di Asia Tenggara yang bisa bertahan hingga putaran pendanaan Late stage.
Laju pendanaan telah melambat juga karena biaya modal yang lebih tinggi. Suku bunga yang naik tajam beberapa waktu terakhir cukup membebani sektor teknologi dan para investornya.
Investor disebut tengah mengkalibrasi ulang ekspektasi mereka, sementara para pemain startup digital ingin memperluas landasan pacu mereka dengan membelanjakan modal lebih efisien, demi kepentingan pertumbuhan jangka panjang yang lebih sehat.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Sebagai negara yang terkenal dengan raja Unicorn di Asia Tenggara, pendanaan turun pesat di semua sektor hingga kurang dari USD1 miliar pada semester pertama 2023. Jumlah pendanaan hanya mencapai USD400 juta sepanjang paruh pertama tahun ini.
Dari sisi potensi pengembangan, sektor layanan finansial digital rupanya memiliki potensi besar, termasuk untuk Indonesia.
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa uang tunai bukan lagi raja sehingga mendorong adopsi pembayaran digital yang kemudian pada gilirannya mendorong GTV dan pertumbuhan pendapatan.
Di samping itu, pinjaman digital alias pinjol juga tumbuh pesat meskipun suku bunga pinjaman meningkat tajam dalam beberapa waktu terakhir.
Pinjaman online diperkirakan akan naik 29 persen pada 2030 nanti yang nilainya akan mencapai USD300 miliar dengan USD225 miliar penggunaan oleh konsumen dan USD75 miliar di antaranya untuk UMKM. (Lihat grafik di bawah ini.)
Dalam hal pembayaran digital, Indonesia juga masuk ke dalam jajaran negara yang menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Dengan perkiraan Gross Transaction Value (GTV) senilai USD417 dolar atau setara Rp6,5 kuadriliun di 2025 dan USD760 miliar atau setara Rp11,9 kuadriliun di 2030.
"Selain pasar pembayaran digital yang terus berkembang, kami percaya bahwa perilaku offline-to-online yang ada akan semakin menggenjot sektor layanan keuangan digital dan mendorong pertumbuhan yang signifikan di sektor pinjaman,” kata Partner and Head of Vector in Southeast Asia Bain & Company Aadarsh Baijal.
Namun diketahui saat ini masyarakat di Indonesia cukup bermasalah dengan pinjol. Meskipun secara umum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan industri pinjol masih dibawah kendali.
OJK menyebut ada banyak anak muda yang tidak dapat meraih kredit pemilikan rumah (KPR) lantaran skor kreditnya "macet".
Ini merupakan imbas dari tunggakan layanan buy now pay later (BNPL) yang masuk ke dalam kategori pinjol yang marak digunakan.
Kredit macet ini kemudian mempengaruhi status sistem layanan informasi keuangan (SLIK) anak muda.
Terbaru, fasilitas BNPL milik Akulaku dibekukan oleh OJK dan kasus bunuh diri nasabah pinjol Adakami yang menggemparkan jagad maya Indonesia mencerminkan bagaimana industri pinjol memiliki risiko tinggi. (ADF)