ECONOMICS

Larangan Ekspor CPO dan Turunannya Berpotensi Lenyapkan Devisa Hingga Rp 43 Triliun

Advenia Elisabeth/MPI 28/04/2022 17:25 WIB

Bhima pun mempertanyakan apakah pemerintah telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

Larangan Ekspor CPO dan Turunannya Berpotensi Lenyapkan Devisa Hingga Rp 43 Triliun (foto: MNC Media)

IDXChannel - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) berikut turunannya yang merupakan bahan baku minyak goreng bakal berpotensi mengganggu pendapatan negara.

Bhima pun mempertanyakan apakah pemerintah telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, lantaran dampak dari kebijakan tersebut salah satunya adalah hilangnya potensi pendapatan negara dari sektor pajak.

"Apakah kebijakan-kebijakan soal pelarangan CPO ini sudah dikonsultasikan dengan kementerian keuangan? misalnya soal pajak yang hilang," tutur Bhima, kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (28/4/2022).

Kemudian, lanjutnya, apakah sudah dikonsultasikan dengan Bank Indonesia (BI) terkait dampak kepada devisa ekspor? Karena bagaimanapun juga, diterangkan Ekonom itu, CPO punya kontribusi dalam sebulan setara Rp 43 triliun. 

"Jadi kalau 12% dari total ekspor non migasnya hilang maka ini akan berdampak signifikan terhadap stabilitas nilai tukar dan akan mengakibatkan inflasi yang berasal dari sisi impor akan lebih tinggi," ungkapnya. 

Lebih lanjut, Bhima menuturkan, efek dari kebijakan ini akan merambat ke banyak hal. Seperti devisa negara, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), stabilitas nilai tukar rupiah, belum lagi jika Indonesia digugat WTO oleh negara-negara yang merasa dirugikan. 

"Karena selama ini banyak negara mengimpor CPO ke Indonesia. Kemudian juga tidak ada kejelasan waktu kebijakan tersebut sampai kapan," sambungnya. 

Ia menambahkan, kebijakan kilat itu merupakan kebijakan yang blunder khususnya bagi masyarakat yang bekerja sebagai petani kelapa sawit.

"Jadi banyak konsekuensi yang harusnya dipikirkan dulu sebelum kebijakan ini dikeluarkan. Ini kebijakan yang sangat salah dan sangat blunder apalagi bagi masyarakat sendiri khususnya masyarakat yang bekerja sebagai perkebunan kelapa sawit," jelasnya. (TSA)

SHARE