ECONOMICS

LFP vs Nikel untuk Mobil Listrik, Produksi dan Tren di Masa Depan

Maulina Ulfa - Riset 24/01/2024 12:50 WIB

erdebatan tentang penggunaan lithium iron phosphate (LFP) versus nikel untuk kendaraan listrik muncul setelah disinggung dalam acara Debat Pilpres 2024 pada Min

LFP vs Nikel untuk Mobil Listrik, Produksi dan Tren di Masa Depan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Perdebatan tentang penggunaan lithium iron phosphate (LFP) versus nikel untuk kendaraan listrik muncul setelah disinggung dalam acara Debat Pilpres 2024 pada Minggu (21/1/2024).

Dalam gelaran debat calon wakil presiden (cawapres) tersebut, cawapres nomor urut 02 menanyakan soal LFP kepada cawapres 01.

"Yang sering ngomong lithium ferro-phosphate itu timsesnya, tapi cawapresnya nggak paham, Tesla nggak pakai nikel ini kan kebohongan publik, mohon maaf Tesla itu pakai nikel, Pak," kata cawapres 02 dalam debat tersebut.

Gibran mencontohkan co captain Tim Nasional Pemenangan Anies-Cak Imin, Thomas Lembong sering membahas tentang LFP dan industri nikel Tanah Air.

Lalu seperti apa tren LFP dalam kendaraan listrik saat ini? Benarkah penggunaan LFP bisa mengalahkan nikel sebagai bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan listrik?

Tren LFP untuk Baterai Mobil Listrik

Menurut Global EV Outlook 2023 oleh International Energy Agency (IEA), tren penggunaan LFP untuk kendaraan listrik menguat yang berdampak pada turunnya popularitas baterai berbasis nikel.

Ini bisa mengacaukan skema pemerintah Indonesia yang ingin mendorong hilirisasi nikel sebagai bahan baku utama mobil listrik.

IEA mencatat, pangsa pasar baterai LFP global naik dari 7 persen menjadi 27 persen selama periode 2018-2022. Tren ini diiringi penurunan pangsa baterai nikel kadar tinggi (high-nickel) dari 78 persen menjadi 66 persen.

Pada 2022, baterai berbasis nikel alias Nickel Manganese Cobalt (NMC) tetap menjadi bahan kimia baterai yang dominan dengan pangsa pasar sebesar 60 persen, diikuti oleh LFP dengan pangsa sekitar 30 persen. Ada juga komponen nikel kobalt aluminium oksida (NCA) dengan pangsa pasar sebesar 60 persen.

LFP juga dilaporkan telah mencapai pangsa tertinggi dalam dekade terakhir. Tren ini terutama didorong oleh preferensi pasar terhadap Original Equipment Manufacturer (OEM) kendaraan listrik China. Sekitar 95 persen baterai LFP digunakan untuk kendaraan yang diproduksi di China, dengan BYD mewakili 50 persen permintaan.

Sementara, Tesla hanya menyumbang 15 persen permintaan LFP China. Meski demikian, pangsa baterai LFP yang digunakan oleh Tesla meningkat dari 20 persen pada tahun 2021 menjadi 30 persen pada tahun 2022. Selain itu, sekitar 85 persen mobil dengan baterai LFP yang diproduksi oleh Tesla diproduksi di China.

Amerika Serikat (AS) justru menggunakan komponen LFP yang diimpor dari China. Secara total, hanya sekitar 3 persen mobil listrik dengan baterai LFP yang diproduksi di AS pada tahun 2022.

Dari segi kualitas, baterai berbasis LFP memang berbeda dengan bahan kimia lain, terutama dalam penggunaan besi dan fosfor dibandingkan nikel, mangan, dan kobalt yang ditemukan pada baterai NMC.

Kelemahan LFP adalah kepadatan energinya cenderung lebih rendah dibandingkan NMC. Baterai LFP juga mengandung fosfor, yang digunakan dalam produksi makanan. Jika semua baterai saat ini adalah LFP, maka baterai tersebut akan menyumbang hampir 1 persen dari penggunaan fosfor pertanian secara massal saat ini. Ini mengancam kebutuhan fosfor mungkin akan meningkat di masa depan seiring dengan meningkatnya permintaan baterai.

Sementara itu, permintaan baterai lithium-ion (Li-ion) untuk kendaraan listrik juga tercatat meningkat sekitar 65 persen menjadi 550 GWh pada 2022, dari sekitar 330 GWh pada tahun 2021. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan penjualan mobil listrik, dengan peningkatan registrasi baru sebesar 55 persen pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021.

Di China, permintaan baterai untuk kendaraan jenis ini tumbuh lebih dari 70 persen. Sementara, penjualan mobil listrik meningkat sebesar 80 persen pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.

Permintaan baterai untuk kendaraan di AS tumbuh sekitar 80 persen di tahun yang sama, meskipun penjualan mobil listrik hanya meningkat sekitar 55 persen pada 2022.

Peningkatan permintaan baterai kendaraan listrik ini mendorong permintaan bahan-bahan mineral penting seperti lithium, fosfor, kobalt, mangan, nikel, hingga bijih besi. Pada tahun 2022, permintaan litium melebihi pasokan meskipun produksi meningkat sebesar 180 persen sejak tahun 2017.

Dalam periode tersebut, melansir data Statista, Australia menjadi pemimpin dunia dalam hal produksi tambang litium, dengan perkiraan produksi sebesar 61.000 metrik ton. Chili dan China berada di peringkat kedua dan ketiga, dengan produksi litium masing-masing sebesar 39.000 dan 19.000 metrik ton. (Lihat grafik di bawah ini.)

Australia merupakan rumah bagi tambang litium hard rock terbesar di dunia, yang terutama mengekstrak logam alkali dari spodumene (mineral yang mengandung litium). Sebaliknya, produksi litium di Chili berasal dari air garam yang dipompa dari bawah permukaan bumi ke kolam penguapan di Gurun Atacama Chili.

Berkat cadangan air garam yang kaya litium di Atacama, Chili menyumbang sebagian besar cadangan litium di seluruh dunia. Sementara itu, meskipun merupakan salah satu produsen litium terkemuka di dunia, China juga merupakan konsumen utama logam tersebut, karena negara Asia saat ini mendominasi produksi baterai litium-ion.

Preferensi Produsen

Pada 2022, sekitar 60 persen litium, 30 persen kobalt, dan 10 persen permintaan nikel ditujukan untuk baterai kendaraan listrik. Lima tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 2017, pangsanya masing-masing sekitar 15 persen, 10 persen, dan 2 persen.

Seperti yang telah terlihat pada litium, penambangan dan pengolahan mineral penting ini perlu ditingkatkan secara cepat untuk mendukung transisi energi, tidak hanya untuk kendaraan listrik namun secara lebih luas untuk mengimbangi laju permintaan akan teknologi energi ramah lingkungan.

Reuters melaporkan pada pertengahan 2023, industri otomotif mulai berupaya memproduksi kendaraan listrik yang lebih terjangkau. Baterai merupakan salah satu komponen termahal. LFP adalah salah satu bahan yang dilirik sebagai bahan pilihan baterai kendaraan listrik.

Popularitas senyawa kimia yang dikenal sebagai LFP sebagian disebabkan oleh permasalahan lingkungan dan geopolitik. Namun kemajuan teknologi juga telah mengurangi kesenjangan kinerja dengan material yang lebih banyak digunakan seperti nikel dan kobalt.

Reuters mencatat, LFP adalah jenis bahan baterai yang dianut oleh pemimpin industri EV Tesla dua tahun lalu dan telah memicu minat baru terutama di AS. Terlihat dari sejumlah produsen dalam dan luar negeri yang telah menjanjikan fasilitas produksi baru senilai lebih dari USD11 miliar.

Dua produsen mobil terbesar dunia, Toyota Motor dan Hyundai Motor, keduanya telah mengumumkan rencana untuk melengkapi kendaraan masa depan mereka dengan baterai LFP.

“LFP lebih murah dibandingkan kobalt dan nikel, dan semua mineral dapat diperoleh di Amerika Utara (yang berarti) biaya transportasi yang jauh lebih rendah dan rantai pasokan yang lebih aman,” kata Stanley Whittingham, profesor di Universitas Binghamton di New York dan Peraih Nobel 2019 atas karyanya pada baterai lithium ion.

Hyundai Motor Group menegaskan hal ini dan berencana memproduksi baterai LFP secara mandiri untuk mendukung harga kendaraan listrik yang lebih terjangkau.

Menurut laporan media lokal pada November 2023 lalu, produsen mobil asal Korea Selatan itu akan menyelesaikan pengembangan baterai LFP-nya pada 2024. Ini artinya, posisi LFP saat ini lebih dipertimbangkan dibanding nikel sebagai bahan pembuat baterai mobil listrik. (ADF)

SHARE