LPEI Dorong Tenun NTT Rambah Pasar Global Lewat Program Desa Devisa dan CPNE
LPEI atau Indonesia Eximbank secara aktif mendorong produk-produk unggulan daerah, khususnya tenun Nusa Tenggara Timur (NTT).
IDXChannel - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank secara aktif mendorong produk-produk unggulan daerah, khususnya tenun Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk menembus pasar global melalui program-program unggulannya seperti Desa Devisa dan Coaching Program for New Exporters (CPNE).
Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan kapasitas produksi dan memperluas akses pasar, tetapi juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Plt. Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis Indonesia Eximbank, Maqin U. Norhadi menjelaskan komitmen LPEI dalam memperkuat posisi pelaku usaha nasional di pasar global.
"Untuk memperkuat penetrasi pasar, Indonesia Eximbank juga aktif membantu para pelaku usaha tersebut untuk perluasan akses ekspor ke lebih dari 80 negara tujuan baru, memperkuat posisi pelaku usaha nasional di pasar global,” kata Maqin dalam Media Briefing di Labuan Bajo, Kamis (10/7/2025).
Program Desa Devisa LPEI telah mencatat keberadaan 1.909 Desa Devisa yang tersebar di 18 provinsi di Indonesia hingga Maret 2025. Program ini telah menghasilkan nilai ekspor mencapai Rp123,9 miliar dan melibatkan lebih dari 180.000 penerima manfaat.
Komoditas unggulan yang diangkat meliputi kopi, kakao, kain tenun, batik, rempah, hasil laut, dan produk turunan kelapa. Maqin menegaskan Desa Devisa merupakan cerminan nyata kolaborasi LPEI dengan kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Keuangan, dalam semangat sinergi Kemenkeu Satu.
Secara khusus untuk tenun NTT, LPEI memberikan dukungan nyata kepada para penenun melalui program Desa Devisa Tenun NTT. Program ini mencakup 31 desa yang tersebar di Kabupaten Alor, Belu, Ende, Sikka, dan Sumba Timur, dengan total 522 penenun penerima manfaat, di mana 98,5 persen di antaranya adalah perempuan.
Pendampingan dilakukan bersama Yayasan Insan Bumi Mandiri dan Tenunin, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Kemenkeu Satu, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dan Pemerintah Daerah NTT.
“Program ini tidak hanya mendorong ekspor, tetapi juga memberikan dampak sosial yang signifikan, terutama dalam pemberdayaan perempuan, pelestarian budaya lokal, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tenun NTT kini tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga komoditas ekspor yang berdaya saing tinggi,” kata Maqin.
Pendampingan yang diberikan mencakup peningkatan kualitas tenun NTT sesuai dengan standar pasar ekspor yang mengutamakan aspek keberlanjutan, seperti pelatihan pewarnaan alami dan bantuan 17 alat tenun. LPEI juga membuka akses pasar melalui pitching dan business matching ke Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.
Produk tenun NTT turut dipromosikan lewat pameran internasional seperti Global Sourcing Expo Melbourne dan Dubai Expo, serta menjadi official merchandise di MotoGP Mandalika dan ADFIAP CEO Meeting. Untuk memperkuat pemasaran, sebuah toko offline di Labuan Bajo juga didirikan sebagai etalase produk tenun lokal.
CEO Tenunin, Hayatul Fikri Aziz menggarisbawahi dampak ekonomi signifikan dari program ini. Ia menambahkan, selain peningkatan pendapatan, program ini juga memperkuat kapasitas produksi dan memperluas jangkauan pasar, menjadikan kain tenun NTT sebagai produk ekspor bernilai budaya tinggi dan berdaya saing global.
"Rata-rata pendapatan penenun mengalami peningkatan sebesar 30 persen, dari sebelumnya Rp750 ribu–Rp1 juta per bulan menjadi Rp975 ribu–Rp1,3 juta per bulan setelah program berjalan," kata Hayatul.
Salah satu tokoh inspiratif dalam program ini adalah Mama Sariat Tole, penenun asal Kampung Hula di Pulau Alor. Mama Sariat, yang telah menenun sejak usia lima tahun, dikenal menggunakan benang kapas hasil tanam sendiri dan pewarna alami dari bahan lokal seperti tinta cumi, daun kelor, kunyit, hingga akar mengkudu.
Karya-karyanya telah dipamerkan di 13 negara, dan ia tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pembuat warna alami terbanyak untuk kain tenun.
LPEI memberdayakan Mama Sariat sebagai mentor dalam program Desa Devisa Klaster Tenun NTT, khususnya dalam pendampingan penggunaan pewarnaan organik dan benang alami untuk memenuhi standar ekspor global, terutama pasar seperti Jepang yang mengutamakan warna alami dan daya tahan tinggi.
Selain Desa Devisa, Indonesia Eximbank juga menjalankan Coaching Program for New Exporters (CPNE) yang telah melahirkan 5.938 alumni dari 19 provinsi.
Program ini memberikan pelatihan komprehensif mulai dari manajemen ekspor, legalitas, sertifikasi, branding, hingga digital marketing. Hasilnya, CPNE telah mencetak 1.197 eksportir baru, dengan nilai ekspor alumni mencapai Rp83,3 miliar ke lebih dari 80 negara tujuan.
Sebagai Special Mission Vehicle di bawah Kementerian Keuangan, Indonesia Eximbank memiliki mandat khusus untuk mendorong ekspor nasional melalui berbagai layanan seperti pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi.
Program Desa Devisa merupakan bentuk nyata dari pendekatan community development yang menyasar UKM, koperasi, petani, dan pengrajin yang memiliki produk unggulan berorientasi ekspor.
(Febrina Ratna Iskana)