LPI Resmi Dibentuk, Ini Dampaknya Bagi BUMN
Sejumlah analis meyakini keberadaan lembaga ini akan memiliki dampak besar bagi kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
IDXChannel - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi memperkenalkan jajaran direksi Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA). Sejumlah analis meyakini keberadaan lembaga ini akan memiliki dampak besar bagi kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI), Toto Pranoto, memandang keberadaan LPI akan mendorong kinerja perseroan negara, khususnya BUMN. Sehingga, perseroan akan aktif berinvestasi ataupun ditunjuk pemerintah untuk mengerjakan proyek infrastruktur. Di mana, struktur pembiayaan BUMN menjadi lebih seimbang nantinya.
Hal itu karena alternatif pembiayaan terdiversifikasi, bukan saja di instrumen debt seperti issuing global bond, tapi juga mulai masuk di instrument equity.
"Jadi diharapkan struktur pembiayaan mereka (BUMN) di masa depan bisa lebih seimbang. LPI juga untuk menjaga kepercayaan investor luar negeri, karena melibatkan dana besar, maka praktek good corporate governance harus dijaga betul," ujarnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (16/2/2021).
Toto juga menyarankan agar Dewan Pengawas bisa bekerja optimal sehingga dapat mencegah intervensi yang dapat merusak kredibilitas lembaga tersebut. Sebab, LPI akan menjadi institusi penting dalam menarik minat investor dalam berinvestasi di sektor infrastruktur di Indonesia.
"Jadi kalo SWF Indonesia ini sudah berani ambil risiko untuk investasi di infrastructure project di domestik, maka diharapkan bisa menarik investor luar negeri juga untuk bergabung. Model SWF seperti ini juga sudah dikembangkan di Rusia terlebih dulu," kata dia.
Berbeda, pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, melihat SWF diproyeksi akan dijadikan sebagai kendaraan untuk menerbitkan utang baru dengan jaminan aset negara plus aset BUMN (debt vehicle).
"Tujuan awalnya memang untuk menutup financing gap atau kekurangan pembiayaan khususnya di proyek pemerintah," kata dia saat dihubungi.
Dia melihat, SWF Indonesia berbeda dengan praktik SWF pada umumnya yang berasal dari pengelolaan surplus, baik surplus SDA seperti negara di Timur Tengah maupun surplus valas seperti China dan Singapura. Jika model yang dipilih pemerintah Indonesia lebih dominan debt vehicle, maka akan ada skenario beban utang pemerintah dan BUMN.
"Pindah buku ke LPI ini. Hanya geser aja, investor beli SBN dengan adanya LPI jadi beli surat utangnya LPI. Apakah utang baru di APBN bisa berkurang? Bisa jadi tapi sebenarnya ini skenario semu karena baik beli lewat SBN atau LPI tetap saja skema nya dengan melibatkan jaminan pemerintah," katanya.
SWF kurang pas untuk menarik investasi langsung karena berhadapan dengan tantangan utama yang belum bisa diselesaikan. Ketika proyek pemerintah, misalnya, pembangunan infrastruktur publik mau ditawarkan ke investor, maka investor akan mempertanyakan besaran Return on Investment (ROI). Sementara proyek infrastruktur sudah terkenal dengan ROI yang kecil, dan tingkat risiko tinggi.
"Ini membuat skema penyertaan modal seperti joint venture (equity vehicle) jadi sulit dari sisi daya tarik imbal hasil. Ujungnya cara paling mudah adalah penerbitan utang baru," tutup Bhima. (TYO)