Masih Sepi Peminat, Bisnis Pembiayaan Hijau Perbankan Butuh Insentif dari Pemerintah
pemerintah perlu memberikan sejumlah insentif sebagai daya tarik atau 'gula-gula' agar pelaku usaha tertarik untuk lebih memanfaatkan fasilitas green financing.
IDXChannel - Minat dunia usaha untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan hijau (green financing) dari perbankan sejauh ini dinilai masih cukup rendah.
Hal ini tak lepas dari concern dunia usaha dalam negeri yang juga masih cukup minim terhadap isu lingkungan, terutama terkait penerapan prinsip lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG).
Kondisi tersebut kontraproduktif terhadap tren yang terjadi di tingkat global, di mana masyarakat dunia sudah menyadari betul pentingnya untuk menjadi isu lingkungan sebagai salah satu prioditas utama dalam menjalankan bisnisnya.
Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah dinilai perlu memberikan sejumlah insentif sebagai daya tarik atau 'gula-gula' agar para pelaku usaha tertarik untuk lebih memanfaatkan fasilitas green financing dari perbankan.
Meski, pemberian insentif tersebut diakui juga cukup sulit untuk diberikan, mengingat saat ini pemerintah justru tengah fokus dalam mendongkrak pendapatan pajak, di antaranya dengan menaikkan persentase Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.
"Sebenarnya kalau ditanya (butuh insentif atau tidak), maka jawabannya pasti butuh ya, agar peminat (green financing) makin banyak. Tapi kita juga realistis saja, bahkan pajak (PPN) saja mau dinaikkan (oleh pemerintah), jadi kalau soal insentif, sepertinya susah," ujar Head of Sustainability & Corporate Secretary PT Bank Permata Tbk (BNLI), Katharine Grace, dalam keterangan resminya, Kamis (22/8/2024).
Secara umum, Katharina mengakui bahwa dunia usaha nasional sejauh ini masih belum memiliki concern terhadap penerapan prinsip ESG.
Padahal, pada saat yang sama, pemerintah saat ini juga diketahui tengah mempersiapkan aturan wajib bagi perusahaan untuk menjalankan prinsip ESG, melalui revisi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Dengan bakal direvisinya POJK 51 tersbeut, menurut Katharine, pemerintah bakal mulai mewajibkan penerapan prinsip ESG di kalangan korporasi, mulai dua hingga tiga tahun ke depan.
Belum lagi, demi kebutuhan tersebut, Indonesia diketahui juga telah membentuk komite sustainability di bawah langsung pemerintah Indonesia, melibatkan OJK, Menteri Keuangan, dan Bank Indonesia.
Karenanya, Katharine berharap bahwa pemahaman tentang ESG dan pentingnya penerapan prinsip tersebut secara perlahan mulai bisa dipahami serta benar-benar bakal diterapkan di kalangan dunia usaha sesegera mungkin.
"Jadi, harapannya, manfaatkanlah waktu yang tersisa ke depan untuk kita sama-sama belajar dan menjadi bagian dari kampanye ESG ini. Karena kalau POJK itu sudah direvisi, maka (penerapan prinsip ESG) sudah wajib, kita tidak punya ruang lagi untuk improvement atau coba-coba," ujar wanita yang juga menjabat sebagai Chairwoman of Indonesia Corporate Secretary Association (ICSA) ini.
(taufan sukma)