Masyarakat Bawah Hanya Nikmati 20,7 Persen BBM Subsidi, Selebihnya Dikonsumsi Orang Kaya
Anggaran subsidi yang semakin membengkak jadi alasan pemerintah seiring harga minyak dunia yang terus meroket.
IDXChannel - Rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi terus memantik polemik di masyarakat. Anggaran subsidi yang semakin membengkak jadi alasan pemerintah seiring harga minyak dunia yang terus meroket.
Namun demikian, banyak pihak yang justru menyoroti pemberian subsidi yang belum tepat sasaran sebagai penyebab dari membengkaknya anggaran di APBN hingga mencapai Rp502 triliun. Hal ini didasarkan pada fakta masih banyaknya masyarakat menengah ke atas yang turut mengkonsumsi BBM bersubsidi.
"Memang praktik subsidi atas barang identik dengan penyimpangan. Karena memang tidak mudah. Bayangkan, produk yang sama punya dua harga. Ada solar subsidi, ada solar industri. Jenis dan kualitasnya sama. Elpiji ada yang disubsidi (tabung 3 Kg), ada yang dijual sesuai harga pasar. Logikanya, kalau ada yang murah, kenapa harus beli yang mahal?" ujar Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi, Minggu (28/8/2022).
Dengan logika seperti itu, menurut Kholid, maka sangat bisa dipahami bila yang terjadi di lapangan pemberian subsidi tidak jatuh ke tangan masyarakat yang berhak, melainkan justru dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya yang seharusnya tidak layak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
"Praktiknya bisa dengan mudah kita temui di lapangan. Orang kaya tapi pakai elpiji tabung tiga kilogram. Orang punya mobil, mampu beli mobil, pakai BBM-nya pertalite dan biosolar. Pengusaha ikan tangkap, pemilik kapal-kapal besar itu justru tidak beli solar industri tapi menadah solar subsidi," tutur Kholid.
Akibatnya, berdasarkan hasil riset Badan Kebijakan Fiskal (BKF), 60 persen masyarakat terkaya menikmati 79,3 persen BBM subsidi. Sedangkan 40 persen masyarakat golongan bawah hanya mengonsumsi BBM subsidi sebanyak 20,7 persen saja.
Solar subsidi dinikmati 72 persen rumah tangga desil 6 teratas. Sementara masyarakat dengan desil 4 ke bawah hanya menikmati 21 persen. Studi Schuhbauer et al pada tahun 2020 bahkan menyebut solar subsidi hanya dinikmati tujuh persen nelayan skala kecil, dan selebihnya oleh sektor perikanan skala besar.
"Survei KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) membuktikan bahwa 38,4 persen nelayan tidak memiliki surat rekomendasi untuk membeli solar subsidi. Lalu 36,2 persen bahkan tidak tahu ada BBM bersubsidi. Sedangkan sisanya 22,2 persen mengaku tidak adapenjual BBM bersubsidi di sekitar lokasinya," papar Kholid.
Rentetan data inilah, menurut Kholid, yang menjadi penyebab utama membengkaknya anggaran subsidi hingga Rp502 triliun untuk tahun ini. Bahkan bila tidak ada kebijakan lain untuk memperbaiki keadaan, diproyeksikan angka subsidi bakal semakin membengkak ke level Rp698 triliun.
"Padahal bila kita terus merelakan dana subsidi sebesar itu 'dibakar' untuk BBM, artinya kita akan kehilangan kesempatan memperbaiki infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan ekonomi berbasis pengetahuan," keluh Kholid.
Karenanya, meski terkesan pahit untuk diterima, Kholid menilai bahwa kenaikan harga BBM subsidi tak terelakkan demi menyehatkan kondisi keuangan negara. Langkah tersebut menjadi solusi jangka pendek yang wajib dilakukan, sembari pemerintah juga harus menjalankan solusi jangka menengah dan juga jangka panjang.
"Untuk jangka menengah, kita harus menata sistem administrasi untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Syaratnya kita harus punya SIN (Single Identity Number) yang andal. Langkah Pertamina merilis aplikasi MyPertamina adalah transisi untuk memastikan BBM subsidi tepat sasaran. Sedangkan jangka panjang, kita harus punya roadmap matang untuk segera berpindah dari energi mahal ke energi murah dan bersih," tegas Kholid. (TSA)