ECONOMICS

Mau Naikkan Harga BBM, Pemerintah Sudah Siap Hadapi Risiko Ini?

Michelle Natalia 20/08/2022 11:38 WIB

Kenaikan harga BBM bukan tidak mungkin diikuti sejumlah risiko.

Ilustrasi. Foto: MNC Media

IDXChannel - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, meminta kenaikan harga BBM jenis subsidi, terutama Pertalite benar-benar dicermati pemerintah. 

Pasalnya, kenaikan harga BBM bukan tidak mungkin diikuti sejumlah risiko. Pertama, bukan hanya masyarakat kelas miskin yang terdampak, tetapi juga daya beli kelas menengah rentan. 

"Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM? masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak. Mungkin sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik, maka kelas menengah akan korbankan belanja lain," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Sabtu(20/8/2022). 

Jika demikian, masyarakat yang tadinya bisa berbelanja baju, mau membeli rumah lewat KPR, hingga menyisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya mengalihkan kebutuhan lainnya untuk membeli bensin. 

"Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," ungkap Bhima.

Bhima juga mengingatkan jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase Stagflasi. Jika itu terjadi pemulihan bisa memakan waktu tiga hingga lima tahun akibat daya beli yang terganggu.

Bhima menanggapi pernyataan pemerintah yang mengatakan naiknya harga minyak mentah menjadi tekanan. Pemerintah sebelumnya menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak bisa lagi lebih banyak menopang beban itu.

Adapun pemerintah tetap menyiapkan subsidi energi sebesar Rp502 triliun. Namun, berdasarkan data APBN Kita, serapan subsidi energi baru Rp88,7 triliun. 

Di sisi lain, APBN juga mengalami surplus Rp106,1 triliun atau 0,57% dari PDB diperiode Juli 2022. Dalam hal ini, menurut Bhima, pemerintah bisa saja menambal subsidi energi dengan surplus tersebut.

"Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas anggaran yang tidak urgent dan korbankan subsidi energi," tukas Bhima.

Untuk win-win solutionnya, pemerintah bisa merevisi aturan untuk menghentikan 'kebocoran' solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan, dan perkebunan besar. 

"Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93% konsumsi solar adalah jenis subsidi. Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis pertalite," cetus Bhima.

SHARE