Menakar Sektor Properti setelah BI ‘Kalem’ Kerek Suku Bunga
Survei Bank Indonesia mengindikasikan bahwa peningkatan harga properti residensial di pasar primer secara tahunan masih berlanjut hingga triwulan III 2022.
IDXChannel - Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5% pada Kamis (22/12/2022).
Kenaikan tersebut dinilai sebagai langkah yang wajar. Keputusan tersebut demi untuk mengendalikan inflasi sesuai target sasaran dan stabilisasi nilai tukar Rupiah.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menilai, kenaikan suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar pada Kamis kemarin adalah hal yang wajar demi memastikan inflasi, khususnya inflasi inti, tetap dalam target sasaran tren inflasi BI.
Kenaikan yang lebih ’kalem’ ini nampaknya mengikuti beberapa keputusan bank sentral utama dunia.
Di AS, kenaikan suku bunga The Fed melambat menjadi 50 bps, melambat dibanding tingkat sebelumnya. Bank sentral Uni Eropa (ECB) dan Bank of England (BoE) juga memutuskan kenaikan serupa. Setelah sebelumnya The Fed menaikkan suku bunga di level 75 bps.
Salah satu dampak kenaikan suku bunga The Fed adalah tingkat hipotek di AS yang melewati angka 7% untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade.
Mengutip Bloomberg, rata-rata untuk pinjaman tetap 30 tahun naik menjadi 7,08% dari 6,94% minggu lalu. Hal ini disampaikan oleh Freddie Mac, perusahaan AS yang bergerak di industri jasa keuangan pada Kamis (22/12). Ini menjadi momen pertama kalinya sektor perumahan AS melewati suku bunga di atas 7% sejak April 2002.
Sebelumnya, Survei bulanan oleh National Association of Home Builders (NAHB) di Amerika Serikat (AS) menunjukkan angka pembangunan rumah keluarga tunggal di negeri Paman Sam turun ke level terendah dalam 2,5 tahun terakhir.
Data NAHB hari ini mengindikasikan bahwa pasar perumahan AS sudah dalam fase resesi.
Bagaimana Nasib Sektor Properti Indonesia?
Kenaikan suku bunga BI kali ini dapat dikatakan lebih kalem dibanding sebelumnya. Kenaikan ini juga tidak terlalu berdampak bagi sektor properti Indonesia, terutama dalam hal kenaikan suku bunga KPR.
Melansir data Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dari OJK, bank-bank utama di Indonesia masih menerapkan suku bunga KPR lama per September 2022.
PT Bank Negara Indonesia (BNI) misalnya, juga masih menetapkan bunga kredit KPR sebesar 7,25% efektif per tahun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Di sisi harga properti, mengutip website BI, Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mengindikasikan bahwa peningkatan harga properti residensial di pasar primer secara tahunan masih berlanjut hingga triwulan III 2022.
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada triwulan III 2022 tercatat sebesar 1,94% (yoy), lebih tinggi dibandingkan 1,66% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Namun demikian, pada triwulan IV 2022, harga properti residensial primer diprakirakan mulai meningkat secara terbatas sebesar 1,65% (yoy).
Dari sisi penjualan, pertumbuhan penjualan properti residensial di pasar primer pada triwulan III 2022 tetap kuat.
Hal ini terindikasi dari penjualan properti residensial yang tumbuh sebesar 13,58% (yoy) pada triwulan III 2022, meski lebih rendah dari 15,23% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Hasil survei BI juga menunjukkan bahwa pembiayaan non-perbankan masih menjadi sumber pembiayaan utama untuk pembangunan properti residensial. Pada triwulan III 2022, sebesar 73,20% dari total kebutuhan modal pembangunan proyek perumahan berasal dari dana internal.
Sementara itu, dari sisi konsumen, pembiayaan perbankan dengan fasilitas KPR masih menjadi pilihan utama dalam pembelian properti residensial dengan pangsa sebesar 74,53% dari total pembiayaan.
Kondisi ini menunjukkan perbedaan dengan yang terjadi di AS, bahwa sektor properti di RI yang bisa dibilang belum memasuki fase bubble.
Di AS, pada paruh kedua 2022, negeri Paman Sam dilanda penurunan harga rumah. Namun, harga tetap naik secara tahunan (yoy) seiring sempat adanya tren kenaikan di paruh pertama tahun ini.
Mengutip Forbes, penurunan harga, sebagian, didorong oleh tingkat hipotek atau KPR yang lebih tinggi yang memukul konsumsi perumahan.
Kondisi ini membuat keterjangkauan untuk membeli rumah lebih rendah. Singkatnya, biaya hipotek yang lebih tinggi telah mengurangi minat orang untuk membeli rumah. (ADF)