ECONOMICS

Mengapa Data Disebut Sebagai New Oil? Bernilai dan Berisiko, Ini Penjelasannya

Nadya Kurnia 01/12/2023 17:45 WIB

'Data is the new oil' pertama kali diucapkan oleh Clive Humby, mengacu pada pengolahan dan pemanfaatan data sebagai aset bernilai seperti minyak bumi.

Mengapa Data Disebut Sebagai New Oil? Bernilai dan Berisiko, Ini Penjelasannya. (Foto: MNC Media)

IDXChannel—Mengapa data disebut sebagai new oil? Istilah ini pertama kali diucapkan beberapa tahun lalu oleh seorang pebisnis dan ahli matematika asal Inggris, Clive Humby, dan sejak saat itu, banyak pihak mengutip perkataannya. 

Pada masa kejayaannya, minyak bumi adalah komoditas yang sangat berharga bagi penduduk dunia. Penemuan minyak bumi pada abad ke-18, menjadikannya sebagai sumber daya bernilai tinggi yang siap dieksplorasi untuk kepentingan manusia. 

Setelah manusia mengerti cara pengolahan dan pemanfaatannya, minyak bumi menjadi sumber daya yang mampu menggerakkan roda perekonomian secara masif di banyak negara. Lantas, apa kesamaan minyak bumi dan data sehingga Humbly mencetuskan ‘data is the new oil’? 

Dari segi manfaat ekonomi, data dan minyak bumi memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama merupakan sumber daya bernilai tinggi. Minyak bumi digunakan sebagai bahan bakar, data digunakan sebagai landasan penting untuk pengambilan keputusan dan perumusan strategi. 

Mengapa Data Disebut Sebagai New Oil

Eksploitasi, Eksplorasi, Distribusi 

Dikutip dari The Drum (1/12), ‘data is the new oil’ yang diucapkan oleh Clive Humby, mengacu pada pengolahannya. Sebab, sama seperti minyak bumi, data tidak bernilai dan tidak bisa digunakan sebelum diolah. 

Sama seperti minyak, data tidak bisa dimanfaatkan jika masih mentah. Sama seperti minyak bumi, setelah dihimpun, data harus diproses, disaring, dan diubah menjadi sesuatu yang bernilai. Nilai data terletak pada potensinya untuk digunakan dalam banyak hal. 

Dalam digital marketing, contohnya, data yang telah diolah dapat membantu pebisnis untuk melihat konten seperti apa yang bakal diterima oleh konsumen berdasarkan jenis usia dan jenis kelamin konsumen. 

Data juga menunjukkan tendensi selera konsumen dari masa ke masa, seberapa kuat daya beli masyarakat, jenis produk yang masih dicari dan diterima konsumen, sekaligus rentang harga yang masih bisa diterima konsumen. 

Perusahaan teknologi seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), Shopee, dan perusahaan teknologi rintisan lainnya, mengandalkan data untuk menunjang penentuan strategi bisnisnya. 

Perputaran ekonomi kini tak lagi hanya berlangsung di pasar konvensional, namun juga di pasar online. Sehingga, data menjadi aset yang sangat berharga tidak hanya bagi perusahaan besar, namun juga penjual-penjual skala menengah dan kecil. 

Dikutip dari Forbes, banyak temuan teknologi terbaru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, berlandaskan pemanfaatan data yang benar.

Contohnya, penelitian yang dilakoni Harvard Medical School yang pada akhirnya berhasil menggabungkan sistem AI dan data temuan para dokter untuk membangun sistem yang mampu mendeteksi kanker payudara dengan tingkat akurasi mencapai 99,5%. 

Sama-sama Berisiko 

Data dan minyak bumi tidak hanya menggerakkan perputaran ekonomi yang lebih cepat dan membuka peluang-peluang baru, keduanya sama-sama memiliki risiko, terlebih jika pemanfaatannya mulai disalahgunakan, dan menggunakan cara yang salah. 

Konsumsi minyak bumi—sebagai bahan bakar—yang berlebih, risikonya dapat kita saksikan saat ini. Yakni produksi kendaraan bermotor yang melonjak tanpa rem, dan pada akhirnya menimbulkan polusi udara. 

Belum lagi risiko-risiko geopolitik yang timbul di negara-negara penghasil minyak bumi. Seperti yang pernah terjadi pada suku asli Amerika, Osage, yang dieksploitasi dan dimanipulasi oleh para pendatang yang serakah. 

Data pun demikian. Bukan sekali dua kali kita mendengar publik mengkhawatirkan penyalahgunaan data di kalangan perusahaan dan pemerintahan. Pelanggaran privasi menjadi kekhawatiran yang kerap dikeluhkan di masa sekarang. 

Banyak aspek kehidupan yang kini bergantung pada teknologi, mengharuskan masyarakat untuk mengunggah data pribadinya ke aplikasi dan website, dan jika pihak pengelola berniat buruk, data-data ini bisa saja bocor dan digunakan untuk tujuan-tujuan tidak baik. 

ChatGPT, kecerdasan buatan yang belakangan ini ramai diperbincangkan masyarakat dunia, adalah salah satu contoh bagaimana pemanfaatan data dapat menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang. 

OpenAI, perusahaan yang membangun ChatGPT, pernah dikritik habis-habisan oleh seniman digital karena menggunakan data dari karya-karya seniman yang terunggah di internet tanpa izin sebagai acuan model bagi mesin AI-nya, hingga mampu meniru gaya seni seniman tertentu.

Kini, bermunculan foto, video, bahkan konten suara yang dihasilkan oleh AI, yang dibuat dari data-data yang terunggah di internet. AI mampu memanipulasi gambar, video, dan suara menjadi mirip dengan suara dan wajah seseorang dengan ribuan data yang sudah terunggah di internet. 

Penggunaan data seperti ini, tentu berisiko untuk disalahgunakan pihak-pihak tertentu untuk tujuan yang tidak  baik. 

Lebih lanjut, CEO Igneous Kiran Baghesphur dalam opininya di Forbes, mengatakan bahwa, “Data memang the new oil, dan manfaat utamanya untuk umat manusia bukan untuk dimonetisasi oleh perusahaan teknologi raksasa, namun mestinya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia,” 

Itulah alasan mengapa data disebut new oil oleh banyak orang. (NKK)

SHARE