ECONOMICS

Mengupas Peluang The Fed Pangkas Suku Bunga dan Ancaman Resesi Ekonomi 2024

Anggie Ariesta 21/12/2023 10:07 WIB

The Fed akhirnya berencana menurunkan suku bunga yang diperkirakan terjadi pada Maret 2024.Meski begitu, pelaku pasar harus tetap waspada pada kondisi ekonomi.

Mengupas Peluang The Fed Pangkas Suku Bunga dan Ancaman Resesi Ekonomi 2024. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Sentral Amerika Serikat, Rederal Reserve  (The Fed), akhirnya menyatakan bakal menurunkan suku bunga yang diperkirakan terjadi pada Maret 2024. Pasar keuangan pun bergembira hingga mengalami relief rally yang disinyalir terus berlanjut di tahun depan.

Meski begitu, Vice President Wealth Management BCA Richie Norbert Tandias mengingatkan, adanya peluang pelambatan ekonomi secara global, dan di Amerika Serikat (AS). Sehingga pelaku pasar harus melihat berbagai indikator, tidak hanya suku bunga.

Terlebih lagi, The Fed seringkali berubah-berubah dalam keputusan. Lalu bagaimana peluang penurunan suku bunga dan ekonomi global?

Menurut Richie, market sebelum ada FOMC meeting tersebut semua orang hampir mengatakan The Fed tidak akan memberikan clue apa-apa. Saat 'dot plot' tersebut dikeluarkan, market berpikir bahwa ini sebuah konfirmasi The Fed akan memangkas suku bunga.

"Pertanyaannya ini bisa lanjut enggak ke depannya? Menurut saya kita harus lihat dulu, kenapa? karena The Fed bilang akan cut 3 kali tapi pasar sudah expect 6 kali," kata Richie dalam Market Buzz Power Breakfast IDX, Kamis (21/12/2023).

Artinya, lanjut Richie, ada ketidakpastian lagi yang akan datang soal berapa kali The Fed akan menurunkan suku bunganya. Selain suku bunga, ada juga sentimen resesi yang diperkirakan akan terjadi.

Namun untuk 2024, menurut Richie, akan lebih jelas karena jika dilihat dari berbagai aspek, paling gampang minyak dunia.

"Kita lagi di tengah perang, tensi geopolitik tinggi tapi harga minyak gak naik, harusnya naik, kemudian kita lihat OPEC+ cut supply dengan sangat-sangat besar, tapi minyaknya enggak naik," jelas Richie.

Hal itu menandakan demand sudah mulai berkurang. China mengalami perlambatan, Eropa juga resesi dan Amerika Serikat sekarang satu-satunya yang masih kuat. Namun masih ada pertanyaan, tahun depan masih bisa bertahan atau tidak?

Richie membeberkan kondisi di AS cukup memperhatikan, kredit yang direstrukturisasi harus mulai dibayar, penggunaan kartu kredit all time high, bunga kartu kredit naik tinggi, sehingga menimbulkan saving rate yang rendah.

"Kita tinggal tunggu saja bahwa ekonomi ini akan semakin melemah karena memang source of financing-nya enggak ada, perusahaan butuh uang, rakyat juga keuangannya tipis tapi sampai sekarang masih bagus, kalau kita gabungkan semua data yang ada, menandakan dunia dan AS melambat," ungkap Richie.

Ketika The Fed berbicara soal pemangkasan suku bunga dinilai sudah tepat. The Fed di 2021 mengatakan inflasi itu cenderung dengan tren yang ada, hanya sebentar kemudian turun, ternyata salah, hingga Juni 2022 melesat ke 9%.

The Fed pun diminta 'restore' kredibilitasnya karena market sudah bertanya soal kredibilitas atau bisa dipercaya atau tidak. Dengan suku bunga yang naik dari 0,25% ke 5,5%, Richie menilai tidak mungkin tidak ada sesuatu yang terjadi.

Richie mengibaratkan orang Indonesia ketika suku bunga naik dari 1% ke 5% pasti ada sesuatu karena kredit turun dan bunga tinggi. Menurut dia, The Fed sudah melihat di tahun depan itu mulai ada perlambatan dan jika tetap mempertahankan 5,5%, berarti bisa 'hard landing' dan yang terakhir disalahkan adalah The Fed.

Dengan demikian, Richie mengingatkan para investor jangan terbawa emosi atau euforia, karena tantangan di tahun depan bukan suku bunga tetapi ada beberapa fase yang akhirnya tentang kebijakan moneter. 

(FRI)

SHARE