Minyak Makin Sulit Bergerak ke Level USD100 per Barel, Ini Biang Keroknya
Pasar minyak masih tertatih pasca negara-negara anggota OPEC memutuskan untuk memangkas produksi hingga 2 juta barel per hari.
IDXChannel - Pasar minyak masih menanti katalis positif agar bisa bergerak ke harga mendekati USD100 per barel. Pasar minyak masih tertatih pasca negara-negara anggota OPEC memutuskan untuk memangkas produksi hingga 2 juta barel per hari.
Seketika harga minyak sempat terkerek setelah mengalami tren penurunan harga dalam beberapa bulan sebelumnya.
Mengutip data Trading Economics, minyak mentah berjangka WTI bertahan di bawah USD72 per barel pada Rabu (3/5/2023) melayang di level terendah dalam lima minggu terakhir tepatnya USD71,58 per barel, turun 11,35% dalam sebulan terakhir.
Sementara minyak Brent juga diperdagangkan lebih rendah di level USD 75,31 per barel atau telah terkontraksi 11,17% dalam sebulan terakhir. (Lihat grafik di bawah ini.)
Harga minyak makin terperosok di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga yang akan datang dan meningkatnya risiko resesi dapat membebani permintaan energi global.
Sementara itu, The Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa diperkirakan akan memperketat kebijakan lebih lanjut minggu ini. Dari Australia, Reserve Bank of Australia secara tak terduga telah menaikkan suku bunga pada Selasa (2/5) dan menambah pelik psikologis pasar.
Data pekerjaan AS yang lebih lemah dari perkiraan dan kejutan kontraksi dalam aktivitas manufaktur China juga menimbulkan kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi dua konsumen minyak terbesar di dunia.
Di sisi penawaran, Bloomberg melaporkan bahwa Menteri Perminyakan Iran Javad Owji mengatakan negara tersebut telah meningkatkan produksi lebih dari 3 juta barel per hari, memberikan pasokan tambahan ke pasar.
“Selama 20 bulan terakhir, produksi minyak Iran telah mencapai level di atas 3 juta barel per hari dan produksi gas alam telah mencapai lebih dari 1 miliar meter kubik,” kata Menteri Perminyakan Iran dalam pernyataan resmi.
Pasar saat ini tengah menanti kesimpulan pertemuan The Fed, di mana bank sentral diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin lagi.
Tetapi pasar bertaruh bahwa tanda-tanda aktivitas ekonomi yang memburuk akan membuat bank mengumumkan jeda dalam siklus kenaikan suku bunga.
Peringatan tentang potensi gagal bayar utang AS juga semakin memperburuk sentiment pasar minyak.
Kekhawatiran baru atas krisis perbankan AS juga membebani pasar minyak, setelah akuisisi darurat First Republic Bank oleh JPMorgan Chase & Co.
Langkah tersebut memicu turunnya saham perusahaan pemberi pinjaman regional lainnya, di tengah kekhawatiran krisis likuiditas yang lebih luas di sektor tersebut.
Turunnya saham perbankan juga terjadi setelah data yang menunjukkan penurunan mengejutkan dalam aktivitas manufaktur China hingga April. Data menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi pasca Covid-19 di negara importir minyak terbesar dunia itu tak sejalan ekspektasi.
Ini membuat pasar memikirkan ulang kemampuan China untuk memimpin pemulihan permintaan minyak tahun ini.
Menanggapi kondisi ini, sejumlah saham raksasa minyak dunia kompak rontoh berjamaah pada perdagangan Selasa (2/5/2023). Saham British Petroleum (BP) Plc memimpin penurunan 8,1%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun raksasa migas AS, Chevron dan ExxonMobil masing-masing turun 4,25% dan 4%. Saham perusahaan migas berbasis Houston, Texas, ConocoPhillips juga turun 3,78%. Sementara saham perusahaan migas Belanda, Shell Plc juga mengalami penurunan 3,47%. (ADF)