Negara-Negara Barat Dinilai Kalah Melawan Ekspansi Ekonomi China, Ini Buktinya
Di sektor teknologi, Perusahaan China terbukti berhasil mengadaptasi operasi mereka agar selaras dengan tujuan pembangunan negara berkembang.
IDXChannel - Perusahaan-perusahaan Barat harus belajar dari keberhasilan lokalisasi China jika ingin menyamai pengaruh negara itu di pasar berkembang, kata para peneliti dan analis, menyikapi meningkatnya persaingan antara negara adidaya ekonomi dunia.
Perusahaan China, khususnya di sektor teknologi, terbukti berhasil mengadaptasi operasi mereka agar selaras dengan tujuan pembangunan negara berkembang, menurut dua makalah penelitian yang diterbitkan tahun ini oleh the Carnegie Endowment untuk Perdamaian Internasional.
Sebagai perbandingan, negara-negara Barat lebih fokus mencegah negara-negara berkembang bekerja sama dengan China atas dasar keamanan, daripada memberikan alternatif kompetitif yang berarti, kata para penulis dalam sebuah forum tentang penelitian mereka awal bulan ini dilansir South China Morning Post, Senin (24/10/2022).
Temuan ini muncul dalam setahun, di mana adanya dorongan baru dari negara-negara Barat untuk melawan pengaruh China di pasar negara berkembang.
Pada Juni, negara-negara anggota G7 meluncurkan tawaran kerja sama kepada negara berkembang untuk pembangunan infrastruktur dan investasi. Tawaran di bidang infrastruktur senilai USD600 miliar itu dianggap sebagai upaya untuk melawan strategi inisiatif One Belt One Road (OBOR) milik China.
Program tersebut ditindaklanjuti pada September dengan negosiasi yang dipimpin Amerika Serikat bersama 14 negara untuk memulai kerjasama di bidang ekonomi Indo-Pasifik.
Tin Hinane El Kadi, seorang peneliti ekonomi politik dan rekan-rekan di departemen Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House di London, mengatakan negara-negara barat "berusaha memaksakan hegemoni dengan sedikit uang".
Perusahaan Amerika Serikat dan Eropa belum mampu menyaingi harga atau kualitas penawaran perusahaan China, kata Kadi, yang studinya tentang upaya lokalisasi China di Afrika Utara diterbitkan oleh think-tank Carnegie pada bulan April.
Perusahaan China seperti Huawei tidak hanya menyediakan infrastruktur penting dengan harga yang kompetitif, mereka juga menyesuaikan praktik bisnis agar sesuai dengan budaya lokal negara mitranya, sambil membantu negara-negara berkembang dengan tujuan digitalisasi dan pembangunan.
Pernyataan di masa lalu bahwa perusahaan China tidak mempekerjakan cukup banyak talenta lokal tidak lagi berlaku, karena praktik perekrutan telah meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir.
Lebih penting lagi, perusahaan China mengatasi kekurangan keterampilan dengan memberikan pelatihan berkualitas tinggi dan bermitra dengan universitas untuk memberdayakan karya mahasiswa, sesuatu yang sangat diinginkan oleh pasar negara berkembang saat mereka berusaha meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM).
Keberhasilan China dalam ekspansi tidak hanya terjadi di Afrika utara, tetapi juga terlihat di seluruh benua. Studi terbaru yang mengamati operasi telekomunikasi China di Nigeria, Senegal, dan Afrika Selatan semuanya menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan mereka dalam mempercepat pelatihan keterampilan di wilayah tersebut.
"Pemerintah Afrika lebih menyambut perusahaan China karena strategi 'berorientasi pelanggan' yang tampaknya dijalankan oleh perusahaan-perusahaan ini, termasuk kecenderungan mereka untuk memahami kebutuhan lokal dan merespons dengan cepat," kata Seifudein Adem, profesor Studi Global di Universitas Doshisha di Kyoto, yang penelitiannya mencakup hubungan Tiongkok - Afrika dan pembangunan Afrika.
Shameen Prashantham, profesor di China Europe International Business School di Shanghai, mengatakan China baru-baru ini membantu perusahaannya mengatasi kebutuhan pasar negara berkembang dengan lebih baik.
"Tidak seperti rekan-rekan Barat, perusahaan China telah menghadapi tantangan seputar infrastruktur yang tidak memadai," katanya.
Namun, keberhasilan lokalisasi China di pasar negara berkembang bukan tanpa peringatan.
Meskipun ada peningkatan dalam praktik perekrutan, penelitian menunjukkan perusahaan seperti Huawei dan ZTE membatasi ruang lingkup pengetahuan dan teknologi yang ingin mereka bagikan dengan aktor lokal.
Terdapat beberapa kasus protes publik yang berulang terhadap proyek infrastruktur China di berbagai pasar dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa meskipun pemerintah mungkin menginginkan peningkatan kerja sama dengan China, warga negara masing-masing tidak selalu tertarik.
Sebuah survei opini publik yang diterbitkan Arab Monitor pada Juli menemukan warga di Timur Tengah dan Afrika Utara sudah tidak terlalu berminat untuk menginginkan hubungan ekonomi yang lebih kuat dengan China dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan beberapa negara mengalami penurunan hingga 20%.
Di Asia Tenggara, sebuah studi bulan Juni oleh Institut ISEAS-Yusof Ishak Singapura menemukan kekhawatiran masyarakat lokal seputar praktik perburuhan ilegal, kerusakan lingkungan, dan relokasi paksa terus dilakukan demi program inisiatif One Belt One Road (OBOR) milik China. (NIA)
Penulis: Ahmad Dwiantoro