ECONOMICS

Pasokan Gas RI Melimpah, ESDM Minta Konsumen Dalam Negeri Sudah Siap Nampung

Selfie Miftahul Jannah 29/02/2024 13:20 WIB

Ketersediaan stok gas akan semakin besar seiring dengan terus ditemukannya cadangan gas.

Pasokan Gas RI Melimpah, ESDM Minta Konsumen Dalam Negeri Sudah Siap Nampung. (Foto: MNC Media

IDX Channel - Ketersediaan stok gas akan semakin besar seiring dengan terus ditemukannya cadangan gas. Berdasarkan neraca gas bumi 2023-2032 terungkap bahwa surplus gas bisa terjadi mulai 2025.

Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rizal Fajar Muttaqien mengatakan, untuk mengatasi kelebihan pasokan yang berpotensi terjadi mulai 2025 perlu disiapkan calon pembeli gas dari dalam negeri sehingga gas bisa dimanfaatkan tidak langsung dijual atau diekspor.

Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh, serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri,” kata Rizal dalam webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, di Jakarta, Rabu, (28/2/2024).

Adapun konektivitas kini menjadi isu utama dalam penyaluran gas di Tanah Air. Menurut dia, Pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif mengisi gap antara sumber pasokan gas dan wilayah yang membutuhkan gas. 

Bisa dilihat dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon–Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus nanti untuk tahap I. 

“Sekarang hampir tersambung dari Sumatera hingga ke Jawa,” ujar Rizal.

Kebutuhan gas domestik sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan. Penurunan ekspor gas dimulai 2012, sejalan penggunaan gas untuk dalam negeri juga mulai meningkat, namun pertumbuhannya sejak saat itu hanya di kisaran 1% setiap tahunnya. 

Tahun 2022 dari total produksi gas sebesar 5.474 ribu kaki kubik per hari (MMscfd) 68% di antaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sisanya sebesar 32% diekspor.

Menurut Rizal, gas memiliki peran penting termasuk dalam pemenuhan energi di masa depan. Apalagi dengan emisi yang lebih rendah otomatis dengan peningkatan penggunaan gas maka emisi secara keseluruhan juga bisa ditekan.

“Gas bisa  berkontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL tapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih,” ucap Rizal.

Semantara itu, kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang ditetapkan  kepada tujuh sektor industri telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara.

Deputi keuangan dan komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mencatat,  penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar USD6 per MMBTU lebih dari USD1 miliar atau sekitar Rp15,68 triliun. 

Namun demikian, Koordinator Program migas Direktorat Jenderal Minyak dan gas bumi (Dirjen Migas) Rizal Fajar Muttaqien, menyebutkan pihaknya masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu.

“Kemenperin juga sudah mengusulkan perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT, hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini, tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya Azof membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi RI dalam pengembangan gas dalam negeri . Menurut Aris tantangan yang dimaksud besarasal dari sektor hulu, hilir, hingga regulasi.

Dari sektor hulu, Aris menyebut tingginya risiko pengembangan hulu migas berdampak rendahnya investasi yang masuk.

"Dari sektor hulu, kita tahu sektor ini merupakan pengembangan industri yang beresiko tinggi dan berdampak pada bagaimana kita undang investor masuk dalam usaha industri hulu, ujar Aris Mulya. 

(SLF)

SHARE