Pedagang Beras di Pasar Induk Cipinang Minta Pemerintah Hapus Aturan HET
Para pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta Timur, mendesak pemerintah agar segera menghapus aturan Harga Eceran Tertinggi (HET).
IDXChannel - Para pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta Timur, mendesak pemerintah agar segera menghapus aturan Harga Eceran Tertinggi (HET). Ini lantaran aturan tersebut dinilai membebani pelaku usaha di lapangan.
Salah satu pedagang yang tidak mau disebutkan namanya, menilai aturan HET tidak sesuai dengan realita pasar beras di Indonesia. Sosok pria bertato itu meminta agar HET dicabut dan perdagangan dikembalikan ke mekanisme pasar bebas.
"Memang harus (HET) dicabut, sebenernya dari zaman dulu, dari orang tua saya mulai dagang tahun 1986 itu enggak ada harga HET. Bebas gitu," ujarnya kepada IDXChannel di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
"Jadi ketentuan harga naik atau turun itu kan dilihat dari kondisi pasar, di mana pasar banyak beras, pembelinya sedikit ya harga turun, di mana beras yang dateng dikit, yang belanja banyak, harga naik," kata dia.
Dia juga menyoroti penerapan HET di Indonesia belum sebaik yang dilakukan di luar negeri, mengingat pemerintah tidak memiliki kontrol terhadap produksi dan distribusi beras. Menurutnya, aturan HET baru akan efektif jika pemerintah yang menguasai pasar.
"Ini kan pasar, berarti kan umum. Kalau dia mau bikin harga itu berarti harusnya pemerintah menguasai keseluruhan (pasar beras) seperti di luar, di Thailand, Vietnam. Itu kan beras semua pemerintah yang ambil. Baru pemerintah jual," kata dia.
Lebih lanjut, dia memaparkan berbagai biaya yang harus ditanggung pedagang, mulai dari pengangkutan padi dari sawah ke truk, pengolahan di pabrik, hingga distribusi ke pasar induk. Belum lagi biaya masuk ke pasar induk bisa mencapai Rp1,25 juta untuk 10 ton beras serta tenaga angkut.
"Gini aja hitungannya, beras perlu pengangkutan dari sawah ke truk, dari truk ke pabrik, belum lagi harus dioven, tambah ongkos angkut dari padinya dimasukin ke karung itu kan perlu biaya, ongkos naikin ke atas truk, biaya, sampai pabrik turunin lagi biaya," ujarnya.
"Nah ongkos truk masuk ke pasar induk itu perlu biaya masuk. Per ton itu Rp125 ribu. Kalau masuk 10 ton Rp1,25 juta. Sampai induk kan mereka gak bisa pasarin sendiri, harus lewat perantara. Udah gitu habis bongkar kan kasih uang ke kuli panggul. Itu semua kan butuh biaya," katanya lagi.
Dia pun berharap pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan HET dan mempertimbangkan kondisi riil pelaku usaha di lapangan. Meskipun aturan HET sendiri baik untuk kesejahteraan petani, namun nasib pedagang harus juga diperhatikan.
"Kembali ke dulu lagi. Jangan ada HET. Pasar bebas. Memang pemerintah mau petani sejahtera, tapi di penggilingan sama pedagang juga repot ngikutinnya. Sebenernya bagus pemerintah mau ikut campur, berarti perhatian. Tapi harus yang benar-benar menguasai," ujar dia.
(Dhera Arizona)