Pembangunan Kilang Baru Dinilai Tak Jamin Kurangi Impor Energi
Pembukaan kilang baru malah berpotensi meningkatkan impor minyak mentah, meski di satu sisi impor produk BBM bisa dikurangi.
IDXChannel - Pembangunan kilang baru dinilai bukan satu-satunya cara untuk menekan impor energi. Direktur Eksekutif IESR (Institute for Essential Service Reform), Fabby Tumiwa, mengatakan justru pembukaan kilang baru malah berpotensi meningkatkan impor minyak mentah, meski di satu sisi impor produk BBM bisa dikurangi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti PT Pertamina (Persero) yang dinilai lamban dalam membangun kilang baru.
"Harus diperhatikan juga, dengan bangun kilang, kita itu juga tetap akan impor bahkan bisa lebih banyak, bangun kilang itu akan mengurangi impor BBM, tapi karena produksi minyak mentah kita itu turun, maka nanti tetap saja harus impor minyak mentah," ujarnya saat dihubungi IDXChannel, Sabtu (4/10/2025).
Dia mengatakan pembangunan kilang bukan hanya perkara teknis, tetapi juga soal keekonomian jangka panjang. Kilang minyak memerlukan biaya investasi yang sangat besar dan usia pengoperasiannya bisa mencapai puluhan tahun.
Karena itu, perlu perhitungan matang apakah proyek tersebut benar-benar akan menguntungkan di masa depan.
"Kalau produksi minyak mentah domestik masih stagnan di kisaran 500-600 ribu barel per hari, sementara kapasitas kilang terus bertambah hingga 1,2-1,3 juta barel per hari, maka impor minyak mentah tetap harus dilakukan. Memang lebih murah dibanding impor BBM, tapi tetap saja Indonesia menjadi importir," kata dia.
Lebih jauh, dia menyoroti risiko kelebihan kapasitas kilang di tengah tren global menuju transisi energi. Menurutnya, proyeksi kebutuhan BBM Indonesia pada 2030-2050 harus ditinjau ulang, mengingat pertumbuhan kendaraan listrik dan hibrida yang kian pesat.
"Kalau bangun kilang sekarang, misalnya baru selesai tahun 2029, kilang itu harus beroperasi minimal 30 tahun untuk balik modal. Bayangkan kalau dalam periode itu permintaan BBM turun drastis akibat elektrifikasi transportasi. Kalau begitu kan malah rugi, masalah nanti, ini yang perlu dibahas," kata dia.
Oleh karena itu, dia menilai strategi pembangunan kilang sebaiknya tidak semata-mata dikaitkan dengan ketahanan energi. Pemerintah juga perlu realistis menilai potensi produksi minyak domestik dan tren konsumsi energi ke depan.
"Ladang minyak baru juga jarang ditemukan, sementara temuan eksplorasi belakangan lebih banyak berupa gas. Jadi harus jujur, apakah memang bangun kilang itu solusi jangka panjang atau justru beban," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti PT Pertamina (Persero) yang dinilai lamban dalam membangun kilang baru.
Purbaya mengatakan, setidaknya ada 7 proyek yang telah dicanangkan sejak periode pertama Pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Tujuh proyek kilang yang dimaksud tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Terdiri dari RDMP RU (Refinery Unit) IV Cilacap, RDMP RU VI Balongan, RDMP RU III Plaju, RDMP RU V Balikapapan, RDMP RU II Dumai, Grass Root Refinery (GRR) Tuban, dan GRR Bontang.
"Subsidi energi naik terus dari tahun ke tahun. Kita banyak impornya, sampai puluhan miliar dolar setahun. Sudah berapa tahun kita mengalami hal tersebut? Sudah puluhan tahun kan. Kita pernah bangun kilang baru enggak? Enggak pernah. Sejak krisis sampai sekarang enggak pernah bangun kilang baru," ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
(NIA DEVIYANA)