ECONOMICS

Pemerintah Diminta Kaji Ulang Rencana Kenaikan Tarif PPN

Atikah Umiyani/MPI 14/05/2024 13:28 WIB

Pemerintah diminta untuk mengkaji ulang rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) demi mendorong penerimaan pajak di 2025.

Pemerintah Diminta Kaji Ulang Rencana Kenaikan Tarif PPN (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pemerintah diminta untuk mengkaji ulang rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) demi mendorong penerimaan pajak di 2025.

Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani menilai, opsi tersebut menjadi sebuah dilema dalam konteks perekonomian nasional. Dari sisi regulasi, diakuinya, pemerintah memang mempunyai ruang untuk membuat kebijakan menaikkan tarif PPN.

"Hal ini pun sesuai dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 ayat (1): tarif PPN sebesar 12% (dua belas persen) yang berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025," jelas Ajib dalam keterangan resminya, Selasa (14/5/2024).

Ajib menjelaskan, pasal ini bisa menjadi konsideran pemerintah dalam menaikkan tarif. Tetapi, di sisi lain, pemerintah juga bisa melakukan penyesuaian waktu atau penundaan, seperti halnya tentang kebijakan pajak karbon  yang dilakukan banyak penyesuaian, padahal sudah diatur dalam pasal 13 UU HPP. 

"Artinya, realitas lapangan dan kondisi perekonomian bisa menjadi pertimbangan dalam membuat dan menjalankan kebijakan," urai Ajib.

Kedua, lanjut Ajib, dari sisi keuangan negara. Menurutnya, sesuai fungsi utama perpajakan untuk aspek budgetair, pemerintah mendesain keuangan negara bertumpu secara signifikan terhadap penerimaan pajak, termasuk penerimaan sektor PPN.

Dalam APBN 2023, penerimaan sektor PPN dan PPNBM mencapai kisaran 764 triliun. "Kalau pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, tahun 2025 penerimaan PPN bisa tereskalasi sekitar 80 triliun tambahan," imbuhnya.

Asumsi perhitungannya, tingkat pertumbuhan ekonomi 2024 dan 2025 di kisaran 5%-an dan tingkat inflasi 2%-an.

Adapun ketiga yaitu berdasarkan sudut pandang perekonomian nasional. Ajib menilai, kenaikan tarif PPN akan memberikan dampak pada perekonomian nasional atas 2 (dua) sisi, yaitu pelaku usaha dan daya beli masyarakat. Pada prinsipnya PPN adalah pajak yang dikenakan pada konsumen akhir, atau ditanggung oleh masyarakat luas. 

Sehingga secara umum, akan memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat. Di sisi lain, ketika pelaku usaha meng-absorb kenaikan tarif PPN ke dalam Harga Pokok Penjualan (HPP), hal ini bisa mengurangi keuntungan perusahaan dan menjadi sentimen negatif dalam pengembangan usaha.

"Pemerintah seharusnya membuat fokus penerimaan negara dengan skala prioritas yang lebih luas, yaitu atas 4 (empat) hal pokok: pajak, cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan optimalisasi dividen BUMN," tegas Ajib. 

Ia pun menambahkan, dalam konteks BUMN, Kementerian Keuangan sebagai perpanjangan tangan pemerintah sebagai pemegang saham, seharusnya membuat benchmarking dengan private sector, berapa deviden yang ideal dari BUMN, termasuk ukuran kuantitatif atas perhitungan return on asset (ROA) nya.

"Kalau pemerintah fokus dengan optimalisasi ini, maka aspek perpajakan bisa lebih banyak sebagai regulerend, atau pengatur ekonomi, bukan hanya sebagai pengumpul uang buat negara," jelas Ajib.

Terakhir Ajib berpendapat bahwa secara umum, kebijakan kenaikan tarif PPN ini perlu dikaji ulang. Hal itu lantaran kebijakan ini akan menjadi disinsentif fiskal yang memberikan tekanan terhadap perekonomian yang sedang dalam tren positif. 

"Pemerintah mempunyai ruang tersebut. Tergantung willingness dan orientasi pemerintah dalam memerankan kebijakan fiskalnya," pungkas Ajib.

(DES)

SHARE