ECONOMICS

Pemulihan Ekonomi Global Lewat G20, antara Harapan dan Kenyataan

Maulina Ulfa - Riset 10/10/2022 10:00 WIB

G20 didesain untuk merespon krisis global dengan sejumlah inovasi. Bagaimana peran G20 di tengah ramalan krisis tahun depan?

Pemulihan Ekonomi Global Lewat G20, antara Harapan dan Kenyataan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Indonesia tengah bersiap menggelar hajatan puncak forum G20 pada November mendatang. Tahun ini, RI didapuk menjadi tuan rumah Presidensi G20.

G20 merupakan forum ekonomi utama dunia yang memiliki posisi strategis karena secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia.

Tak heran, forum ini memiliki arti penting di mata dunia.

Sejak berdirinya forum para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di tahun 1999, forum ini telah digunakan untuk mendiskusikan berbagai isu terkait stabilitas ekonomi dan keuangan global.

Pembentukan G20 tidak terlepas dari kekecewaan komunitas internasional terhadap kegagalan G7 dalam mencari solusi terhadap permasalahan perekonomian global yang dihadapi saat itu.

Anggota G20 di antaranya Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Cina, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Spanyol juga diundang sebagai tamu tetap.

Indonesia ditetapkan menjadi presidensi sejak Riyadh Summit 2020 dan memegang presidensi G20 sejak serah terima dari Italia pada 31 Oktober 2021 di Roma. Presidensi G20 Indonesia dimulai pada 1 Desember 2021 sampai dengan serah terima presidensi berikutnya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada akhir 2022 nanti.

Tema presidensi tahun ini adalah Recover Together Recover Stronger dengan tiga isu prioritas utama yang memerlukan tindakan kolektif secara global, yakni mengenai arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.

Jalur pertemuan G20 di bagi ke dalam dua jalur yakni Sherpa dan Keuangan. Adapun jalur sherpa, 11 kelompok kerja, 1 kelompok inisiatif, dan 10 pertemuan tingkat non-pemerintah bertemu untuk membahas dan memberikan rekomendasi agenda dan prioritas G20.

Sementara itu, di Jalur Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI akan mendorong pembahasan enam agenda prioritas, di antaranya:

  1. Koordinasi exit strategy untuk mendukung pemulihan ekonomi global pasca pandemi
  2. Upaya penanganan dampak pandemi (scaring effects) dalam perekonomian guna mendukung pertumbuhan yang lebih kuat di masa depan
  3. Penguatan sistem pembayaran di era digital
  4. Pengembangan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance)
  5. Peningkatan sistem keuangan yang inklusif
  6. Agenda Perpajakan internasional

Berhasil Atasi Krisis Global 2008 hingga Covid-19

G20 disebut banyak memberikan kontribusi bagi pemulihan ekonomi global, di antaranya penanganan krisis keuangan global 2008.

G20 telah turut mengubah wajah tata kelola keuangan global, dengan menginisiasi paket stimulus fiskal dan moneter yang terkoordinasi, dalam skala sangat besar.

Hal lainnya, G20 juga mendorong peningkatan kapasitas pinjaman IMF, serta berbagai bank pembangunan utama. G20 dianggap telah membantu dunia kembali ke jalur pertumbuhan, serta mendorong beberapa reformasi penting di bidang finansial.

Selain itu, G20 pun telah memacu OECD untuk mendorong pertukaran informasi terkait pajak. Pada 2012, G20 menghasilkan cikal bakal Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) keluaran OECD, yang kemudian difinalisasikan pada 2015. Melalui BEPS, saat ini 139 negara dan jurisdiksi bekerja sama untuk mengakhiri penghindaran pajak.

Lebih lanjut, G20 ikut berjasa penanganan pandemi Covid-19. Inisiatif G20 dalam penanganan pandemi mencakup penangguhan pembayaran utang luar negeri negara berpenghasilan rendah, Injeksi penanganan Covid-19 sebanyak USD5 triliun dalam Riyadh Declaration, penurunan atau penghapusan bea dan pajak impor, pengurangan bea untuk vaksin, hand sanitizer, disinfektan, alat medis dan obat-obatan.

Tidak kalah pentingnya, G20 turut mendukung gerakan politis yang kemudian berujung pada Paris Agreement on Climate Change di 2015, dan The 2030 Agenda for Sustainable Development.

Mengutip Reuters, untuk membantu mengatasi krisis global 2008, Pemerintah G20 menerapkan kebijakan discretionary spending senilai 2% dari produk domestik bruto (PDB) masing-masing negara pada 2009 dan 1,6% pada 2010, berdasarkan kalkulasi IMF.

Discretionary spending adalah anggaran belanja yang tidak mengikat, lawan dari mandatory spending yang diperkenalkan oleh negara-negara yang menganut sistem federal budget.

Amerika Serikat, sebagai salah satunya, mengaplikasikan mandatory spending setelah terjadinya great depression. Tujuan utamanya adalah untuk segera memulihkan kondisi perekonomian dengan mengamanatkan alokasi, di antaranya pada social security dan health care.

Sementara dalam keuangan publik Amerika, discretionary spending adalah pengeluaran pemerintah yang dilaksanakan melalui tagihan alokasi. Pengeluaran ini merupakan bagian opsional dari kebijakan fiskal.

Pertemuan para pemimpin G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada 24-25 September 2009 menjadi forum untuk merumuskan kebijakan stimulus hingga ekonomi menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berkelanjutan.

Dampak kebijakan ini kepada PDB negara yang terdampak krisis cukup bervariasi. Dampak di seluruh negara G20 terjadi penambahan PDB 1,2-4,7% pada 2009 dan 0,1-1,0 %. Sementara di negara maju, terjadi penambahan pertumbuhan PDB 1,3-4,4% pada 2009 dan 0,1-1,1% pada 2010.

Defisit di seluruh negara G20 meningkat dari 1,1% sebelum krisis pada 2007 menjadi 8,1 % pada tahun 2009. Angka ini kemudian berhadil diturunkan menjadi 6,9% pada 2010 dan menjadi 3,1% pada 2014.

Sementara itu, di negara berkembang pasar G20, defisit sempat meningkat dari 0,2% pada 2007 menjadi 4,9 % pada 2009. Kemudian turun menjadi 4,2% pada 2010 dan 1,2% pada 2014.

Utang pemerintah secara umum juga berhasil diturunkan. Utang negara maju G20 berada di level 100,6% pada tahun 2007, lalu menyusut menjadi 76,1% pada tahun 2009, 82,1% pada tahun 2010 dan 86,6 % pada tahun 2014.

Sementara negara emerging market G20 mengalami peningkatan utang 38,8% pada 2009 dan menjadi 40,2% pada 2010. Angka ini berhasil diturunkan menjadi 36,4% pada 2014.

Namun, bagaimana G20 menghadapi ramalan ekonomi tahun depan yang diproyeksikan suram? Terlebih dunia belum sepenuhnya pulih dari scaring effects pandemi Covid-19.

Menunggu Kiprah G20 Tahun Depan

Turbulensi ekonomi saat ini tengah dihadapi seluruh dunia. Dari benua Eropa, Asia hingga Australia, semua tengah ketar-ketir dibayangi perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3,2% pada tahun ini dan melambat hingga 2,9% pada 2023.

Sementara itu kata Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) kolektif di kawasan ini diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 0,3% tahun depan.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat menjadi 2,5% tahun ini dan turun menjadi 2,2% di tahun depan.

Di Eropa, dampak perang Rusia-Ukraina mempengaruhi stabilitas kawasan tersebut terutama dalam hal pasokan energi. Krisis energi menghantui sejumlah negara benua Biru di antaranya Jerman, Austria, hingga Inggris.

Di Inggris, inflasi telah menyentuh angka tertinggi mencapai 10,1% pada Juli, meskipun turun menjadi 9,9% pada Agustus. Ini merupakan angka tertinggi sejak 1982.

European Systemic Risk Board (ESRB), sebuah lembaga watchdog yang terbentuk menangangani krisis 2008, juga telah memperingatkan, krisis keuangan Eropa sudah di depan mata.

Mengutip The Times, ESRB mewanti-wanti sistem keuangan Eropa menghadapi ancaman krisis sistemik yang disebabkan oleh penurunan nilai aset, suku bunga tinggi dan penurunan harga properti.

Tingkat inflasi tahunan Uni Eropa adalah 10,1% pada Agustus 2022, naik dari 9,8% pada Juli. Setahun sebelumnya, angkanya hanya pada level 3,2%.

Sementara Inflasi tahunan kawasan Euro diperkirakan 10,0% pada September 2022, naik dari 9,1% pada Agustus, berdasarkan perkiraan dari kantor statistik Uni Eropa, Eurostat.

Melihat komponen utama inflasi di kawasan ini, energi menyumbang tingkat inflasi tahunan terbesar mendapai 40,8% pada September, dibandingkan dengan 38,6% pada Agustus.

Diikuti oleh makanan, alkohol & tembakau sebesar 11,8%, dibandingkan denga 10,6% pada bulan Agustus.

Di Inggris, gejolak di pasar keuangan Inggris telah mendorong analis untuk memprediksi bahwa harga rumah bisa turun sebanyak 20% di tengah "pembantaian" di sektor hipotek dan peringatan lonjakan besar dalam biaya pinjaman di jalan.

Bergeser ke Asia, beberapa negara dengan kekuatan ekonomi utama di kawasan ini juga tengah mengalami guncangan serupa.

Jepang, misalnya, nilai tukar mata uang yen sempat mengalami tekanan ke level terendah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kamis (22/9).

Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah Jepang melalui bank sentral, Bank of Japan (BOJ) melakukan intervensi di pasar valuta asing pada hari Kamis (22/9) dengan membeli yen untuk pertama kalinya sejak tahun 1998.

Mengutip Reuters, upaya ini adalah upaya pemerintah untuk kembali menguatkan yen setelah BOJ terjebak dengan suku bunga yang sangat rendah.

Inflasi negeri Sakura meningkat ke laju tercepat dalam lebih dari tiga dekade. Mengutip Bloomberg, Selasa (20/9/2022), harga konsumen (IHK) tidak termasuk makanan segar naik 2,8% pada Agustus ini dibanding tahun lalu, berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri. 

Sementara ekonomi macan Asia, China, juga tak terlalu menunjukkan kinerja memuaskan. Pasar perumahan China terancam kolpas dengan pertumbuhan perdagangan yang juga melambat.

Aksi hawkish The Federal Reserve (The Fed) dalam menaikkan suku bunga juga menjadi pemicu ketidakstabilan ini. Lembaga Goldman Sach meramalkan The Fed akan tetap hawkish dengan menaikkan suku bunga 75bp pada November, kenaikan 50bp pada Desember, dan kenaikan 25bp pada Februari 2023 dengan FFR mencapai puncak di angka 4,5-4,75%.

Proyeksi Kenaikan Suku Bunga The Fed

Sumber: Goldman Sach

Negara-negara G20 juga tidak lepas dari dampak turbulensi ekonomi global. Rezim ekonomi utama dunia ini juga akan terdampak akibat adanya perlambatan ekonomi di tahun depan.

Ekonomi negara maju diproyeksikan tumbuh hanya 1,7% pada 2022 dan 1,0% pada 2023. Rata-rata, ini 0,5 poin di bawah periode pra-Covid dan 0,9 persen di bawah rata-rata pra-krisis 2008.

Sementara peningkatan inflasi global telah memicu kekhawatiran tentang overheating ekonomi di beberapa negara, di sebagian besar negara G20, inflasi juga tercatat menguat.

PDB riil diperkirakan akan berada di bawah tren sebelum Covid hingga akhir 2023. Pertumbuhan PDB Indonesia diproyeksikan masih akan menguat menjadi 4,8% tahun depan. Menurut laporan OECD, kesenjangan output atau output gap akan tetap besar, tetapi, defisit transaksi berjalan akan meningkat.

Dilihat dari laporan tersebut, mayoritas negara-negara G20 akan mengalami output gap negatif. Menurut laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), di antara ekonomi G20, hanya Türkiye, Arab Saudi, dan Argentina yang diperkirakan akan menikmati tren output gap positif tahun depan. Indonesia memiliki output gap minus 9,2%.

Output gap memberikan gambaran mengenai kondisi kelebihan permintaan (excess demand) atau kelebihan penawaran (excess supply) dalam perekonomian. Output gap negatif mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang tidak optimum.

Dalam kondisi seperti ini, akan terjadi excess supply atau jumlah barang berlebih sehingga menyebabkan tingkat harga suatu barang jadi turun atau deflasi.

Di tengah peningkatan tingkat inflasi perekonomian Indonesia, output gap yang masih negatif di tahun depan mengindikasikan kapasitas produksi nasional tidak sebanding dengan permintaan (demand) yang cenderung sedikit. Kondisi ini yang perlu diwaspadai.

Sehingga meskipun PDB tumbuh, jikalau output gap-nya masih negatif, akan mengancam di sisi permintaan pasar akan barang.

Di Türkiye, inflasi yang terus-menerus membuat tren pertumbuhan saat ini terbilang rapuh. Beberapa penyesuaian makroekonomi yang restriktif diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat.

Di Arab Saudi, pemulihan yang cepat terkait dengan fluktuasi pasar minyak dunia, yang mencerminkan kenaikan harga dan produksi pasca setelah pecahnya perang di Ukraina.

Argentina, PDB di atas tren sebenarnya adalah pembalikan tren karena ekonomi berkontraksi 0,6% per tahun dalam tiga tahun sebelum pandemi.

Adapun Rusia yang memiliki output gap minus terbesar yakni 12,6% karena efek negatif perang yang bertahan lama terhadap ekonomi Rusia. Sementara negara-negara G20 lainnya diproyeksikan akan mengalami pemulihan ekonomi parsial pada 2023.

Di tengah ramalan resesi yang akan panjang dan sistemik, perlu adanya langkah konkret berupa kebijakan fiskal dari negara G20. Mitigasi diperlukan terutama menghadapi ancaman kenaikan suku bunga hingga menjaga rantai pasok global tetap terjaga agar krisis 2008 tidak kembali terulang. (ADF)

SHARE