ECONOMICS

Penggabungan Tujuh BUMN Karya Dinilai Logis, Ini Sederet Alasannya

Suparjo Ramalan 21/06/2024 03:17 WIB

Rencana penggabungan tujuh perusahaan pelat merah di sektor konstruksi atau BUMN Karya menjadi tiga perusahaan dinilai logis dari sisi bisnis.

Penggabungan Tujuh BUMN Karya Dinilai Logis, Ini Sederet Alasannya (foto mnc media)

IDXChannel - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah mengonsolidasikan tujuh perusahaan pelat merah di sektor konstruksi atau BUMN Karya ke dalam tiga klaster. Rencana integrasi tersebut dinilai logis dari sisi bisnis. 

Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan menilai, konsolidasi tujuh BUMN Karya bukan semata-mata menuntaskan masalah keuangan yang ada saat ini. Namun, berorientasi jangka panjang. 

”Memang sudah sepatutnya dikonsolidasikan. Kenapa? Karena semuanya bermain pada wilayah yang sama, sehingga ada kanibalisme, predatory pricing,” ujar Herry di Jakarta, Kamis (20/6). 

Menurutnya, keputusan penting yang diambil pemegang saham tidak sekadar menyelamatkan perusahaan yang kondisi keuangan sedang tidak baik-baik saja. Misalnya, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) dan Waskita Karya (Persero) Tbk (WKST).

”Pemerintah sudah punya pengalaman, coba berapa integrasi yang sudah dilakukan pemerintah. Benchmarking pada integrasi yang sukses, jangan mengulang kesalahan pada integrasi yang sampai sekarang masih menimbulkan masalah,” ucap Herry.

Adapun skema integrasi yang direncanakan mencakup penggabungan PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) dengan PT Brantas Abipraya (Persero) dan PT Nindya Karya (Persero). Ketiga perusahaan akan bergabung dengan fokus pada proyek pembangunan air, rel kereta api, dan sejumlah konteks lain.

Lalu, integrasi PT Hutama Karya (Persero) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Gabungan Hutama Karya dan Waskita diekspektasikan dapat meningkatkan fokus perseroan terhadap proyek pembangunan jalan tol, jalan non tol, dan bangunan kelembagaan.

Kemudian, PT PP (Persero) Tbk (PTPP) dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Integrasi kedua perseroan akan berfokus untuk menggarap pelabuhan laut, bandar udara, rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC), dan bangunan hunian (residensial).

Herry menyarankan, langkah Kementerian BUMN menggabungkan bisnis perseroan di bidang konstruksi ini perlu memerhatikan kepentingan investor publik, kreditor, maupun negara sebagai pemegang saham. 

Merujuk pada rencana pembentukan klaster integrasi Adhi Karya, Brantas Abipraya dan Nindya Karya, lanjut Herry, harus dipertimbangkan secara cermat penetapan perusahaan sebagai nahkoda integrasi.  

Pandangan ini memperhitungkan respons kreditor dan pemegang saham yang basisnya  berkaitan reputasi, kredibilitas, maupun kepercayaan.

”Pertanyaannya sederhana, siapa yang kenal dengan Abipraya dan Nindya? Tapi dengan ADHI orang sudah kenal, dan sudah tercatat sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia,” ujar Herry.

Menurut Herry, membandingkan ADHI, Abipraya, dan Nindya juga sudah timpang. Nindya dieliminasi dari posisi pemimpin karena statusnya yang masih menjadi ’pasien’ PPA. Sedangkan membandingkan ADHI dan Abipraya, secara laporan keuangan misalnya, aset Abipraya sekitar Rp8 triliun, sedangkan ADHI di posisi Rp40 triliun.

Dari sisi nilai proyek yang dikerjakan, ADHI menangani proyek dengan nilai yang jauh lebih besar. Selanjutnya dari sisi sektor proyek yang dikerjakan, ADHI jauh lebih beragam. Jadi menurut Herry, pengalaman dan pemahaman ADHI itu jauh lebih besar ketimbang Abipraya.

ADHI biasa menangani masalah yang lebih kompleks dan jauh lebih tahan banting ketika dihadapkan dengan masalah. Sebaliknya, Abipraya karena mengerjakan proyek yang ukurannya kecil, maka risikonya juga kecil. 

”Kalau dianalogikan yang satu ngurusin pembuatan sepeda yang satu lagi udah ngurusin pembuatan mobil. Nah, kalau saya jadi investor atau shareholder yang punya duit, kira-kira uang saya nih mau kembangkan, kira-kira nih, saya mau taruh di yang ngurusin sepeda atau mobil?” ucap Herry.

Selain itu, ADHI sebagai perusahaan yang tercatat di bursa terbiasa dengan laporan tahunan yang cukup kompleks. Hal ini mengacu pada aturan OJK yang mengutamakan keterbukaan dan GCG. Sedangkan Abipraya ketika membuat laporan tahunan, cukup mengacu satu indikator, yaitu Kementerian BUMN.

Sebagai perusahaan publik sejak 2021, ADHI sudah diwajibkan oleh OJK sebagai otoritas dan regulator di bidang keuangan, untuk membuat laporan keuangan berkelanjutan atau sustainability report sebagai standar dari ESG. Sebuah standar yang sudah menjadi perhatian pemerintah maupun dunia.

Herry mengatakan, ADHI dari sisi tata kelola, baik di bidang pengelolaan perusahaan maupun keberlanjutan lingkungan sudah lebih kuat secara fundamental dan lebih dipercaya oleh calon investor, kreditor ataupun shareholder bukan hanya lokal, namun juga global.

(FAY)

SHARE