Pengusaha Sawit Khawatir Harga CPO Terus Naik, Ini Alasannya
Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) terus mengalami kenaikan.
IDXChannel - Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) terus mengalami kenaikan. Meski demikian, hal tersebut justru menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pengusaha sawit.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengatakan kenaikan harga CPO dapat mendatangkan tantangan baru.
"Harga minyak sawit ini sekarang sudah lebih tinggi dari minyak nabati lain. Artinya bahwa sawit ini sekarang sudah menjadi minyak premium. Ini justru buat kita ini menjadi tantangan," ujar Eddy dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (6/3/2025).
Harga CPO yang tinggi bukan tidak mungkin membuat konsumen beralih ke minyak nabati lain seperti yang terjadi di India, di mana konsumen yang beralih sulit ditarik kembali untuk mengonsumsi minyak sawit.
"Untuk kembali lagi ke sawit, rasanya itu butuh effort lagi yang cukup besar," kata dia.
Eddy melanjutkan, produksi CPO pada Desember 2024 telah mengalami penurunan. Tercatat total produksi CPO di Desember hanya di angka 3.876 ribu ton, lebih rendah 10,55 persen dibandingkan dengan produksi pada November 2024 yang sebesar 4.333 ribu ton.
Produksi minyak inti sawit (PKO) juga turun menjadi 361 ribu ton dari 412 ribu ton pada November 2024. Dengan demikian, produksi CPO pada 2024 mencapai 48.164 ribu ton sedangkan PKO sebesar 4.598 ribu ton.
Secara total, total produksi CPO dan PKO pada 2024 mencapai 52.762 ribu ton yang lebih rendah 3,80 persen dari produksi 2023 sebesar 54.844 ribu ton.
Eddy melanjut dengan mempertimbangkan kecenderungan produksi dan konsumsi dalam negeri khususnya kebijakan penggunaan biodiesel serta mempertimbangkan kecenderungan harga serta suplai dan demand minyak nabati dunia, produksi minyak sawit Indonesia diperkirakan mencapai 53,6 juta ton, sementara konsumsi diperkirakan mencapai 26,1 juta ton termasuk untuk biodiesel B40 sebesar 13,6 juta ton.
"Dengan perkiraan tersebut ekspor (2025) diperkirakan akan turun menjadi 27,5 juta ton yang lebih rendah dari ekspor tahun 2024 sebesar 29,5 juta ton," kata dia.
(NIA DEVIYANA)