Pengusaha Sebut Pasar Thrifting Naik 30 Persen, Picu Turunnya Produksi Pakaian Lokal
Pengusaha menyebut perkembangan pasar pakaian bekas impor atau thrifting semakin menjamur di Indonesia hingga produksi baju lokal turun.
IDXChannel - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (Apsyfi) menyebut perkembangan pasar pakaian bekas impor atau thrifting semakin menjamur di Indonesia. Hal itu berdampak pada produksi baju lokal yang semakin menurun.
Ketua Umum Apsyfi Redma Gita Wiraswasta memaparkan, pakaian bekas sebetulnya sudah ada sejak lama, kemudian semakin booming di tiga tahun terakhir.
Berdasarkan catatannya, sebelum fesyen thrifting ini booming di kalangan anak muda, perkembangan baju second impor di Indonesia pada 2018 ke belakang hanya 5-10 persen. Namun sejak 2020-2022, meningkat menjadi 30 persen secara year to year.
"Ini sudah sangat-sangat mengganggu kita," ujar Redma dalam konferensi pers di Hotel Mercure, Jakarta, Jumat (31/3/2023).
Lebih lanjut, kata Redma, kala itu toko baju bekas impor hanya dijual di toko-toko tertentu seperti Cibadak Mal atau Cimol yang berlokasi di Bandung. Kemudian setelah baju bekas impor ini semakin disukai banyak orang atau dikenal dengan sebutan thrifting, pedagang mulai berpindah tempat ke Gede Bage. Lalu, semakin menjalar ke Pasar Senen, Blok M, hingga ke toko online.
"Artinya yang mengkhawatirkan itu pertumbuhannya yang semakin besar dari pakaian bekas atau second ini," jelasnya.
Sementara, jika masalah kain ilegal, kata Redma, tidak terlalu mengganggu produksi UKM. Sebab, kain tersebut bisa dipakai sebagai bahan baku produksi baju lokal sehingga ada nilai tambah meskipun sedikit namun merusak industri-industri lainnya dan industri hulunya.
“Tapi kalau pakaian bekas ini selain persentasenya pertumbuhannya sangat cepat dari 5% sampai 30% itu kan langsung head to head dengan pakaian jadi yang diproduksi oleh teman-teman IKM. Jadi sangat=sangat terpukul baik itu dari Sisi volume maupun harga,” katanya.
(FRI)