Penjualan Buku Bajakan Makin Marak di Marketplace, Penerbit Ketar-ketir
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) meminta pemerintah harus turun tangan dalam pemberantasan pembajakan buku.
IDXChannel – Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) meminta pemerintah harus turun tangan dalam pemberantasan pembajakan buku. Walaupun upaya ini lintas sektor tapi sebagian besar berada pada ranah regulasi serta kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.
“Pemerintah tidak boleh tinggal diam dan membiarkan persoalan ini sebagai urusan pelaku perbukuan belaka,” ujar Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia, Arys Hilman Nugraha, di Jakarta (28/5/2021).
Isu pembajakan buku mengemuka setelah penulis Tere Liye melontarkan kemarahan atas pembajakan buku melalui media sosial. Belakangan, perdebatan terjadi menyangkut cara penyampaian kemarahan tersebut, sehingga beralih dari masalah pembajakan buku itu sendiri.
Berdasarkan riset Ikapi, sebanyak 54,2 persen penerbit menemukan buku bajakan dari karya mereka dijual melalui marketplace online pada masa pandemi Covid-19.
Selain itu, sebanyak 25 persen penerbit juga menemukan pelanggaran hak cipta berupa pembagian pdf buku secara gratis, dan 20,8 persen penerbit menemukan penjualan buku bajakan dalam bentuk pdf di lokapasar daring. Rata-rata pedagang buku bajakan di lokapasar menawarkan seperlima dari harga buku orisinal.
Mereka pun telah mereduksi nilai buku hanya sebagai produk komoditas biasa. Rating penjualan tidak lagi mempertimbangkan konten dan orisinalitas buku, melainkan sekadar kecepatan pengiriman atau kualitas pengemasan.
Penerbit mengalami kendala saat menangani para penjual buku bajakan tersebut. Kendati marketplace daring menyediakan mekanisme pelaporan produk bajakan dan bersedia menghapus tayangan buku yang diadukan, buku-buku bajakan tersebut akan dengan mudah tampil kembali melalui akun-akun penjualan lain.
Melalui saluran digital, pembajakan telah tumbuh dalam skala industri dengan stok para penjual dapat mencapai ribuan eksemplar per judul. Dunia penulisan menjadi tidak menarik sebagai bidang pekerjaan karena penulis maupun pelaku perbukuan lainnya kehilangan potensi pendapatan dari karya mereka.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2017 telah menjamin keberadaan 10 pelaku perbukuan. Mereka yang menggantungkan hidup dalam subsektor industri kreatif ini adalah para profesional yaitu penulis, penerjemah, penyadur, editor, desainer, dan ilustrator; serta badan usaha berupa percetakan, pengembang buku elektronik, penerbit, dan toko buku.
Pada 2019, Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugian hanya dari 11 penerbit saja akibat pelanggaran hak cipta mencapai angka Rp116,050 miliar.
Angka kerugian sesungguhnya di industri ini tentu lebih besar mengingat jumlah anggota Ikapi pada 2019 berkisar 1.600 penerbit dan telah bertambah menjadi 1.900 pada April 2021. Ini belum termasuk penerbit anggota organisasi lain, misalnya Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI).
Perkembangan teknologi sesungguhnya membuka peluang bagi industri perbukuan untuk menemukan cara baru berjualan. Penerbit bisa langsung menjual produk mereka melalui toko-toko daring (webstore) milik sendiri maupun lewat akun-akun mereka di lokapasar seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, JD.ID, dan sejenisnya.
Namun, ketika memasuki lokapasar, para penerbit juga harus berhadapan dengan maraknya penjualan buku bajakan.
“Ikapi telah bersepakat dengan asosiasi yang menaungi lokapasar, yaitu IdEA, untuk mencari penyelesaian masalah pembajakan ini,” kata Arys.
Di dunia perbukuan, penerbit yang sebagian besar merupakan usaha kecil dan menengah (UKM) seakan harus berhadapan dengan perusahaan unicorn dan decacorn. Penerbit tidak bisa mengadukan lokapasar daring sebagai pelanggar hak cipta walaupun mereka memfasilitasi penjualan buku bajakan.
Surat Edaran Menkominfo Nomor 5/2016 menyediakan ketentuan safe harbour yang membebaskan mereka dari tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan pedagang. Pengaduan atas penjualan buku bajakan cukup mereka layani dengan menghapus toko penjualan produk bajakan tersebut.
Buku termasuk karya intelektual yang mendapatkan perlindungan melalui UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta. Pembajakan menurut undang-undang ini mencakup penggandaan secara tidak sah maupun pendistribusiannya.
Namun, undang-undang ini memasukkan pembajakan dalam kategori delik aduan. Tanpa pengaduan, tak ada tindak pidana. Undang-undang No. 6/1982 tentang Hak Cipta pernah memasukkan pembajakan sebagai delik aduan.
Hal ini dinilai melemahkan penegakan hukum dan menyuburkan tindak pidana pembajakan, sehingga pada UU Hak Cipta No 12/1987 diubah menjadi delik pidana biasa yang memungkinkan penegak hukum proaktif menindak pelakunya tanpa perlu menunggu adanya pengaduan.
Pada UU Hak Cipta No. 19/2002, pembajakan juga termasuk delik biasa. Ketentuan delik aduan kembali muncul kembali pada UU No. 28/2014 yang berlaku saat ini.
Selain membuat penegak hukum tak dapat bertindak proaktif, para penerbit umumnya enggan mengadukan pembajakan karena harus mengeluarkan biaya besar. Dengan merujuk pada delik aduan, undang-undang ini pun mengatur kemungkinan mediasi dan langkah berdamai dalam penanganan pembajakan, hal yang memperkuat kesan tentang lemahnya keberpihakan terhadap pemilik karya cipta.
Pandemi sesungguhnya telah mempercepat proses transformasi digital di kalangan penerbit. Sebanyak 40,8 persen penerbit telah memproduksi buku digital dan 74,5 persen menjual buku secara daring. (TYO)