Penjualan Ritel Merosot, Cerminan Lesunya Daya Beli Masyarakat?
Penjualan ritel di Indonesia turun sebesar 2,7 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada April 2024.
IDXChannel - Penjualan ritel di Indonesia turun sebesar 2,7 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada April 2024.
Kondisi ini menunjukkan penjualan ritel berbalik tajam dari kenaikan sebesar 9,3 persen pada bulan sebelumnya, yang merupakan laju tercepat sejak Maret 2022. (Lihat grafik di bawah ini.)
Hal ini menandai kontraksi pertama dalam penjualan ritel sejak Mei 2023, seiring dengan berkurangnya pengeluaran.
Ditopang oleh momentum Idul Fitri dan Ramadan, idealnya pengeluaran masyarakat bisa terdorong.
Terjadi penurunan pada penjualan pakaian (-15,7 persen vs 20,6 persen di bulan Maret), barang budaya dan rekreasi (-9,9 persen vs -5,4 persen), informasi & komunikasi (-6 persen vs -5,9 persen), peralatan rumah tangga (-6,0 persen vs 2,9 persen), dan makanan (-2,4 persen vs 10,4 persen).
Pada saat yang sama, penjualan suku cadang & aksesoris otomotif menurun tajam (6,5 persen vs 17,3 persen) dan bahan bakar (3,3 persen vs 7,1 persen).
Secara bulanan, penjualan ritel naik 0,4 persen pada April, setidaknya dalam tiga bulan, turun tajam dari level tertinggi 11 bulan di bulan Maret yang melonjak 9,9 persen.
Pertumbuhan penjualan ritel untuk Mei diperkirakan akan pulih menjadi 4,7 persen.
“Ini tecermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Mei 2024 yang mencapai 233,9 atau secara tahunan tumbuh 4,7 persen (yoy),” tulis BI dalam rilisnya, Selasa (11/6/2024).
Peningkatan tersebut didorong oleh Subkelompok Sandang, Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau, serta Suku Cadang dan Aksesori.
Kondisi ini semakin mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat. Pada gilirannya, akan sulit membuat Indonesia keluar dari middle income trap.
Ekonom LPEM UI Teuku Riefky menyatakan salah satu yang perlu diwaspadai dari kondisi ekonomi secara keseluruhan adalah daya beli masyarakat, utamanya kelas menengah yang terus tertekan.
Apabila berlanjut, maka ini kemudian akan mengganggu pertumbuhan ekonomi di jangka panjang dan menghilangkan potensi pertumbuhan secara struktural.
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi tentu sudah sangat jelas, kita perlu tumbuh 7-8 persen untuk bisa keluar dari middle income trap. Namun, ini sendiri masih sangat sulit untuk kita capai,” kata Riefky saat dihubungi IDX Channel beberapa waktu lalu.
Kondisi ini juga menunjukkan kelas menengah tengah tertekan karena seretnya kenaikan upah dan melambungnya inflasi, sehingga membatasi konsumsi ritel.
Sebagai gambaran, upah pekerja swasta yang sulit naik dalam beberapa tahun terakhir. Ini tercermin dari kenaikan upah minimum provinsi untuk tahun 2024 yang hanya rata-rata sebesar 3,6 persen.
BPS melaporkan, inflasi melonjak selama tiga bulan di awal 2024. Pada Maret, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHS) sempat mencapai 3,05 persen dan menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2023. Memasuki Mei 2024, inflasi tercatat melandai sebesar 2,84 persen.
Meskipun turun, inflasi yoy terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran di atas 1 persen.
Beberapa di antaranya yaitu kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 6,18 persen; kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 1,10 persen kelompok kesehatan sebesar 2,06 persen; kelompok transportasi sebesar 1,34 persen; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 1,60 persen; kelompok pendidikan sebesar 1,71 persen; kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 2,51 persen; dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 4,99 persen.
Pada Maret saja, inflasi inti sebagai salah satu indikator permintaan dalam ekonomi (daya beli), tercatat mencapai 1,77 persen bersamaan dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri.
Belum lagi, kenaikan harga pangan pokok yang semakin membuat pengeluaran masyarakat teralihkan ke konsumsi pokok. Akibatnya, gaji lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. (ADF)