ECONOMICS

Penurunan Inflasi China Terparah dalam 14 Tahun, Risiko Deflasi Kian Dekat

Maulina Ulfa - Riset 09/02/2024 11:11 WIB

Indeks Harga Konsumen (IHK) China turun 0,8 persen yoy pada Januari 2024. Ini menjadi penurunan terbesar dalam lebih dari 14 tahun.

Penurunan Inflasi China Terparah dalam 14 Tahun, Risiko Deflasi Kian Dekat. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Indeks Harga Konsumen (IHK) China turun 0,8 persen yoy pada Januari 2024. Ini menjadi penurunan terbesar dalam lebih dari 14 tahun dan lebih buruk dari perkiraan pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 0,5 persen.

Penurunan ini juga menjadi penurunan inflasi selama empat bulan berturut-turut, penurunan terpanjang sejak Oktober 2009. 

Harga pangan turun dengan kecepatan tertinggi (-5,9 persen vs -3,7 persen di bulan Desember). Sementara itu, inflasi non-makanan turun menjadi 0,4 persen (vs 0,5 persen), seiring dengan semakin cepatnya penurunan harga transportasi (-2,4 persen vs -2,2 persen) sementara biaya pakaian terus meningkat (1,6 persen vs 1,4 persen), perumahan ( 0,3 persen vs 0,3 persen), kesehatan (1,3 persen vs 1,4 persen) dan pendidikan (1,3 persen vs 1,8 persen). (Lihat grafik di bawah ini.)

Harga konsumen inti, tidak termasuk harga pangan dan energi, meningkat sebesar 0,4 persen yoy di bulan Januari, kenaikan paling lemah sejak bulan Juni lalu, setelah kenaikan sebesar 0,6 persen di tiga bulan sebelumnya.

Secara bulanan, inflasi China naik sebesar 0,3 persen, menandakan kenaikan dua bulan berturut-turut dan mencapai level tertinggi sejak Agustus lalu. Pada tahun 2023, harga konsumen naik sebesar 0,2 persen.

Terjerembab Deflasi

Data terbaru China menunjukkan kondisi deflasi yang terbukti sulit untuk diperbaiki. Harga-harga di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini telah jatuh selama tiga kuartal berturut-turut, yang merupakan deflasi terpanjang sejak Krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 1990an.

Tren ini nampaknya akan terus berlanjut, sehingga menambah tantangan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya menghidupkan mesin pertumbuhan negara dan meredakan krisis utang yang semakin besar.

Istilah deflasi menggambarkan situasi di mana harga barang dan jasa turun dalam perekonomian. Hal ini berbeda dengan disinflasi, yang menandakan harga-harga masih naik, meski lebih lambat. Itulah yang terjadi di AS.

Diketahui, perekonomian China sedang berjuang untuk pulih dari pandemi Covid-19 setelah pembatasan dicabut pada akhir tahun 2022. Perekonomian China juga mendapat pukulan besar akibat kontraksi di sektor properti yang terlilit utang, yang menyebabkan pengembang Evergrande diperintahkan untuk melikuidasi bulan lalu.

Perekonomian China juga pertama kali mengalami deflasi pada musim panas lalu, dan harga-harga turun lebih cepat sejak saat itu. 

Sejumlah pabrik di China juga telah memangkas harga, dengan indeks harga produsen terbaru menunjukkan penurunan harga tahunan sebesar 2,5 persen di Januari, setelah penurunan sebesar 2,7 persen di Desember.

Dana Moneter Internasional (IMF) juga meramalkan kemerosotan ekonomi China kemungkinan akan terus berlanjut selama empat tahun ke depan. Ini karena negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini menghadapi berbagai tantangan mulai dari populasi yang menua dengan cepat, tingginya angka pengangguran, hingga krisis properti.

Dalam laporan yang dirilis pada Jumat (2/2/2024) IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China akan turun menjadi 4,6 persen tahun ini, turun dari pertumbuhan 5,2 persen pada tahun 2023, dan akan turun lebih jauh lagi menjadi 3,4 persen pada tahun 2028.

Pasar properti, yang secara historis mewakili sekitar seperempat PDB China, telah menjadi area yang bermasalah bagi perekonomian negeri Panda ini akhir-akhir ini. Terlihat dari raksasa properti China Evergrande, yang terperosok dalam utang lebih dari USD300 miliar dan harus melikuidasi asetnya.

Pasar Saham China Merana

Sejak awal minggu ini, pasar saham China dan Hong Kong mulai kembali menguat setelah salah satu indeks saham acuan China sempat merosot ke level terendah dalam 5 tahun karena tindakan yang lebih tegas yang menekan aktivitas short-selling dan kunjungan langsung Presiden Xi Jinping kepada Komisi Regulasi Sekuritas China pada Rabu 7 Februari 2024.

Keterlibatan Presiden Xi dalam upaya menghentikan guncangan di pasar saham yang telah kehilangan hampir USD7 triliun kapitalisasinya baik di China dan Hong Kong sejak 2021 ini telah mengirimkan sinyal potensial ke pasar bahwa dana stabilisasi pasar saham kemungkinan akan diumumkan segera. Pemerintah China digadang akan menggelontorkan dana sebesar USD278 miliar dari rekening luar negeri perusahaan-perusahaan milik negara China yang beredar dua minggu lalu.

Upaya sebelumnya untuk meningkatkan kepercayaan investor selama 12 bulan terakhir melalui stimulus dan kebijakan sedikit demi sedikit telah gagal menghasilkan pergerakan bullish pada indeks acuan saham China dan Hong Kong.

Namun, kepala ekonom ING Lynn Song mengatakan, data terbaru inflasi China mungkin tidak tepat karena masih ada momentum Imlek yang bisa mendorong aktivitas konsumsi rumah tangga.

Artinya, permintaan rumah tangga terhadap makanan seperti daging babi dapat kembali meningkat setelah data bulan depan memperhitungkan musim liburan.

“Meskipun jauh dari tingkat inflasi di atas target yang terlihat di banyak negara lain, angka-angka ini tidak berarti China terjebak dalam spiral deflasi. Mempertimbangkan efek dasar yang lebih menguntungkan dari data bulan Februari, kami melihat kemungkinan besar data bulan Januari dapat menandai titik terendah inflasi tahunan dalam siklus saat ini,” kata Song.

Namun, prospek stimulus ekonomi baru dari Beijing untuk melawan melemahnya permintaan sudah cukup untuk mendorong saham-saham China.

(YNA)

SHARE