ECONOMICS

Perlu Waspada, Indonesia Dihantui Kejenuhan Sistem Penjualan Online

Dovana Hasiana/MPI 20/02/2023 21:50 WIB

GMV Indonesia sempat diprediksi bakal meningkat menjadi 146 miliar dolar AS pada 2025 mendatang.

Perlu Waspada, Indonesia Dihantui Kejenuhan Sistem Penjualan Online (foto: MNC Media)

IDXChannel - Banyak pihak meyakini bahwa potensi perkembangan ekononomi digital di Indonesia sangat menjanjikan.

Namun demikian, sinyal waspada ditunjukkan oleh laporan yang baru saja dirilis oleh Google bersama Temasek dan Bain & Company.

Dalam laporan bertajuk 'Economy SEA' tersebut, posisi Indonesia memang diakui sebagai kekuatan terbesar ekonomi digital di Asia Tenggara.

Namun bila dilihat lebih detil, angka prediksi nilai total transaksi digital (gross merchandise volume/GMV) dalam laporan itu diprediksi hanya akan tumbuh sebesar 130 miliar dolar AS.

Padahal dalam laporan setahun sebelumnya, GMV Indonesia sempat diprediksi bakal meningkat menjadi 146 miliar dolar AS pada 2025 mendatang.

"Walaupun ekonomi (nasional) tetap diprediksi tumbuh, tapi kita harus waspada dengan penurunan tersebut," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, Senin (20/2/2023).

Menurut Tauhid, pasar ekonomi digital nasional memang berada pada kondisi dilematis, di mana di satu sisi menawarkan potensi yang sangat menjanjikan, namun karenanya persaingan pasar di sektor tersebut juga menjadi sangat ketat.

Kondisi dilematis inilah yang disebut Tauhid menjadi penyebab turunnya angka GMV Indonesia secara keseluruhan.

"Faktor pertama yang menyebabkan penurunan (GMV Indonesia) adalah dampak ekonomi yang diberikan oleh pandemi. Ada stagnasi atau kejenuhan dari sistem penjualan online karena sebagian besar ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih," tutur Tauhid.

Sementara faktor kedua adalah persaingan yang ketat dan gugurnya startup. Tauhid menilai banyaknya pelaku ekonomi digital memang memudahkan dan memberikan pilihan yang beragam bagi masyarakat.

Namun, mekanisme pasar akan bekerja untuk melakukan seleksi terhadap perusahaan tersebut. 

"Ujung-ujungnya, produk yang paling efisien, paling murah dan produknya berkualitas adalah yang dikenal oleh publik. Apalagi jika produk yang ditawarkan memang sesuai dengan kebutuhan harian masyarakat, itu yang akan bertahan," ungkap Tauhid.

Tauhid menjelaskan, faktor kedua semakin diperparah dengan adanya arus modal keluar (capital outflow) karena inflasi dan kenaikan suku bunga di beberapa negara. Tauhid menilai startup sedang dalam masa musim dingin, dimana mereka kesulitan untuk mendapatkan pendanaan.  

Karenanya, Tauhid berharap pemerintah bisa mendorong pelaku usaha untuk mendapatkan pendanaan yang bersumber dari domestik.

"Kalau dari luar, sekarang kan inflasi tinggi dan saham lagi drop, akhirnya banyak yang gugur karena investasinya dicabut," tegas Tauhid. (TSA)

SHARE