ECONOMICS

Perusahaan China Ekspansi Smelter di Indonesia, Picu Kekhawatiran Surplus Aluminium

Aldo Fernando 28/10/2025 11:50 WIB

Ekspansi besar-besaran produksi aluminium di Indonesia yang digerakkan oleh perusahaan China diperkirakan mendorong pasar global ke kondisi surplus di 2026.

Perusahaan China Ekspansi Smelter di Indonesia, Picu Kekhawatiran Surplus Aluminium. (Foto: Shutterstock)

IDXChannel - Ekspansi besar-besaran produksi aluminium di Indonesia yang digerakkan oleh perusahaan-perusahaan China diperkirakan mendorong pasar global ke kondisi surplus di 2026, sehingga menekan harga logam yang banyak digunakan di industri transportasi tersebut.

Tiga smelter baru yang didukung investor China tengah memasuki tahap akhir pembangunan, antara lain proyek Xinfa-Tsingshan Juwan di Weda Bay, Taijing di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), serta proyek Adaro-Lygend di Kalimantan Utara (Kaltara).

Berdasarkan data Trade Data Monitor, ekspor aluminium Indonesia mencapai 325.293 metrik ton sepanjang Januari-Agustus tahun ini, melonjak 67 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, jauh di atas 10.713 ton pada delapan bulan pertama 2023.

“Laju pertumbuhan pasokan dari Indonesia akan menjadi faktor kunci yang membentuk keseimbangan pasar dan harga aluminium global,” ujar analis di lembaga konsultansi CRU, Ross Strachan, dikutip dari Reuters, Selasa (28/10/2025).

Produksi primer aluminium, yang juga digunakan di sektor konstruksi dan kemasan, diperkirakan menembus 72 juta ton tahun ini.

Goldman Sachs memperkirakan pasar aluminium global akan mencatat surplus 1,5 juta ton pada 2026 dan 2 juta ton pada 2027, seiring peningkatan produksi aluminium primer Indonesia dari 815 ribu ton pada 2025 menjadi 1,6 juta ton pada 2026, dan 2,5 juta ton pada 2027.

“Pasokan baru dari Indonesia secara efektif menutup kesenjangan pasokan global yang sebelumnya kami perkirakan muncul seiring China mencapai batas kapasitas smelternya, setidaknya untuk dekade ini,” tulis Goldman Sachs dalam catatan bulan ini.

Bank investasi tersebut memproyeksikan harga aluminium turun ke USD2.350 per metrik ton pada kuartal IV-2026, masih berada di atas persentil ke-90 dari estimasi biaya produksi smelter global. Artinya, 90 persen produsen aluminium akan tetap beroperasi dengan biaya di bawah level itu, sehingga mayoritas masih bisa mencatat laba.

Pada Senin, harga aluminium kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) diperdagangkan di kisaran USD2.873 per metrik ton.

Sementara itu, Macquarie memperkirakan lonjakan produksi aluminium primer Indonesia mendorong pasar global ke surplus 390 ribu ton di 2026. Namun, dalam jangka panjang, Macquarie melihat pasar berpotensi kembali defisit seiring China mencapai batas kapasitas produksi dan permintaan terus meningkat.

Produksi aluminium China kini mendekati batas resmi 45 juta ton, yang menjadi penahan utama bagi pertumbuhan produksi di masa mendatang. (Aldo Fernando)

SHARE