Piutang Pertamina Perlu Segera Dibayar, Realokasi Anggaran Jadi Solusi
Tak hanya untuk membayar piutang existing, realokasi anggaran juga bisa digunakan untuk menambah dana kompensasi atas selisih harga jual BBM non subsidi
IDXChannel - Pemerintah diminta untuk segera membayar piutang PT Pertamina (Persero) yang telah menembus angka lebih dari Rp100 triliun agar kinerja BUMN tersebut dapat tetap berjalan dengan baik.
Pembayaran ini dinilai sebagai kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan, karena tingkat kesehatan keuangan Pertamina dapat berimbas pada terganggunya ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di masyarakat.
“(Pembayaran piutang) Sangat urgent untuk dilakukan, karena kalau tidak cepat (dibayar) bisa terjadi kelangkaan BBM akibat cashflow Pertamina yang terganggu,” ujar Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, Rabu (30/3/2022).
Menurut Bhima, pemerintah bisa memprioritaskan pembayaran piutang ini dengan menunda berbagai proyek strategis yang belum berjalan seiring pandemi COVID-19. Atau juga menata ulang alokasi (realokasi) dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), khususnya untuk pos stimulus dunia usaha.
“Stimulus dunia usaha masih belum terlalu urgent. Justru dengan piutang dibayar, keuangan Pertamina membaik, maka stok BBM aman. Dengan begitu kinerja dunia usaha juga bisa menggeliat tanpa bergantung pada stimulus pemerintah. Secara ruang fiskal juga masih sangat cukup (untuk membayar piutang). Jadi tidak ada alasan untuk ditunda-tunda lagi,” tutur Bhima.
Tak hanya untuk membayar piutang existing, realokasi anggaran juga bisa digunakan untuk menambah dana kompensasi atas selisih harga jual BBM non subsidi dengan harga keekonomian yang terus melonjak. Dengan begitu, dengan sendirinya kenaikan harga BBM jenis Pertamax jadi tidak perlu dilakukan.
Bhima menilai opsi kenaikan harga Pertamax bukan merupakan pilihan bijak untuk diterapkan karena secara momentum akan sangat berdekatan momen Ramadhan dan mudik Lebaran, di mana secara kebiasaan juga bakal mengerek harga barang-barang lain, termasuk juga bahan pangan.
“Momennya tidak tepat, karena jika dipaksakan, masyarakat jadi terpaksa mengurangi spendingnya untuk belanja Ramadhan. Makan di restoran jadi berkurang, jalan-jalan ditunda, bahkan untuk rencana KPR rumah, jadi berpikir dua kali. Ini artinya, roda ekonomi yang harusnya berputar lebih kencang saat Ramadhan, jadi ikut terhambat,” tegas Bhima. (TSA)