Polemik Pemangkasan Anggaran dan Nakes Asing Bayangi UU Kesehatan
DPR RI baru saja mengesahkan undang-undang (UU) Kesehatan melalui Rapat Paripurna ke 29 Masa Sidang V tahun 2022-2023 pada Selasa (11/7).
IDXChannel - DPR RI baru saja mengesahkan undang-undang (UU) Kesehatan melalui Rapat Paripurna ke 29 Masa Sidang V tahun 2022-2023 pada Selasa (11/7). Pengesahan ini menimbulkan sejumlah pro dan kontra, baik dari kalangan pelaku industri kesehatan maupun masyarakat luas.
Beberapa pasal dalam UU Kesehatan yang disahkan berpotensi merugikan pelaku kesehatan di Indonesia. Seperti menyoal pemangkasan anggaran mandatory spending dan potensi kemudahan tenaga kesehatan asing di Indonesia.
UU Kesehatan juga berdampak pada terhapusnya kewajiban perusahaan atau pemberi kerja untuk membayarkan BPJS Kesehatan pekerjanya, hingga hilangnya peran organisasi kesehatan dalam mengawal Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
Berikut hal-hal yang menimbulkan pro kontra terkait UU Kesehatan yang telah dirangkum Tim Riset IDX Channel.
Pro-Kontra Pengesahan UU Kesehatan 2023
1. Alokasi anggaran kesehatan
UU Kesehatan yang baru disahkan menghilangkan pasal aturan terkait mandatory spending ini alias wajib belanja.
Dalam Pasal 171 UU No.36/ 2009 tentang Kesehatan sebelum direvisi, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Menurut pemerintah, penghapusan ini bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.
Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.
Namun, hal ini justru bertolak belakang dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran kesehatan sudah terpantau menyusut sejak dua tahun terakhir. Alokasi anggaran kesehatan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 sebesar Rp169,8 triliun.
Jumlah ini tercatat berkurang 20,2 persen dari outlook anggaran kesehatan 2022 sebesar Rp212,8 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sempat mengatakan bahwa pemerintah tidak lagi memberikan alokasi khusus untuk penanganan pandemi Covid-19 dalam anggaran kesehatan RAPBN 2023.
"Anggaran kesehatan tidak lagi memberikan alokasi khusus untuk pandemi, namun anggaran kesehatan yang reguler akan naik dari Rp133 triliun tahun ini ke Rp168,4 triliun, ini untuk memperkuat sistem kesehatan di Indonesia," ujar Sri Mulyani.
Sementara Darmawan Prasetya, peneliti kebijakan sosial di Perkumpulan Prakarsa menyatakan bahwa pengesahan UU Kesehatan terindikasi cacat prosedur.
“Catatan kritis kami berada pada health spending pemerintah yang dipangkas. Kebijakan mandatory spending yang dipangkas membuat Universal Health Coverage (UHC) yang merupakan acuan dari WHO akan sulit dicapai. Padahal UHC merupakan acuan penting dalam sistem kesehatan nasional,” kata Darmawan saat dihubungi Kamis (13/7/2023).
2. Tenaga Kesehatan Asing
UU Kesehatan yang direvisi juga mengatur soal kemudahan pemberian izin untuk dokter asing. Hal ini menjadi perhatian para tenaga kesehatan (nakes) lokal.
Berbagai persyaratan diatur dalam UU yang baru. Teutama bagi bagi dokter asing maupun dokter WNI diaspora dan mau kembali ke dalam negeri untuk membuka praktik.
Hal ini tercantum dalam pasal 233 UU Kesehatan yang mengatakan bahwa Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP).
Persyaratan yang harus dimiliki sangat mudah berupa STR sementara, SIP, dan Syarat Minimal Praktek.
Jika menelaah data Kementerian Kesehatan yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki tenaga kesehatan mencapai 1,4 juta orang pada 2022.
Perawat menduduki jumlah terbanyak dengan jumlah 563 ribu orang. Di peringkat ke dua, ada bidan dengan jumlah 336 ribu orang. Sedangkan jumlah dokter berada di urutan ke tiga sebanyak 176 ribu saja. (Lihat grafik di bawah ini.)
Jumlah dokter ini terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Di posisi ke empat, ada tenaga kefarmasian atau apoteker dengan jumlah 121 ribu orang dan tenaga biomedika dengan jumlah 75 ribu orang pada urutan ke lima.
Adapun jumlah yang paling sedikit adalah psikolog klinis dengan jumlah 1,2 ribu orang dan tenaga kesehatan tradisional sebanyak 422 orang.
Menurut data World Health Organization (WHO) yang dihimpun Index Mundi, pada 2019 Indonesia hanya memiliki 0,47 dokter per 1.000 penduduk. Rasio ini jauh di bawah standar WHO dengan minimal 1 dokter per 1.000 penduduk.
Indonesia bahkan menduduki peringkat ke-139 dari 194 negara dengan jumlah rasio dokter kecil bahkan kalah saing dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam, hingga Malaysia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Pada 2022, jumlah dokter di RI bertambah sekitar 3 persen dibanding 2021. Ini juga menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Adapun berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah dokter spesialis hanya sebesar 54.190 dokter spesialis. Artinya hanya ada 0,2 dokter spesialis per 1.000 penduduk, atau 200 dokter per 1 juta penduduk.
3. Perusahaan Tak Wajib Daftarkan BPJS Kesehatan
UU Kesehatan yang baru juga tak mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan. Dalam UU terbaru, hanya ada bunyi pasal 100 (1) yang hanya mewajibkan pemberi kerja menjamin kesehatan pekerja melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerjanya.
Hal ini tertuang dalam beleid terbaru yang disahkan Sidang Paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023). Dalam beleid terbaru, menghilangkan istilah BPJS Kesehatan yang tadinya ditemukan pada draf terakhir.
Ini akan menjadi persoalan serius. Salah satu staf BPJS Kesehatan Regional Jawa Timur, narasumber IDX Channel yang tidak ingin sebutkan namanya mengatakan, kebijakan ini akan memberatkan para pekerja terutama buruh.
“Selama ini perusahaan keberatan dengan adanya kewajiban BPJS Kesehatan bagi pekerja. Namun, UU terbaru ini membuat buruh akan semakin tertekan. Mereka buat hidup sehari-hari saja susah, apalagi untuk membawar iuran BPJS,” katanya kepada IDX Channel, Kamis (13/7/2023).
4. Persoalan STR hingga SIP
Dalam UU Kesehatan 2023, menghapus rekomendasi organisasi profesi dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP). Berdasarkan draf final pasal 264, syarat mendapatkan SIP hanya memerlukan surat tanda registrasi (STR) aktif dan memiliki tempat praktik.
Hal ini diatur dalam pasal 235 Ayat 1 UU Kesehatan di mana tenaga kesehatan harus memiliki STR, alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi.
IDI menyebut, aturan ini sama saja mencabut peran organisasi profesi terkait persyaratan praktik tenaga kesehatan.
Dengan aturan ini, maka seorang dokter tidak lagi memerlukan surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi demi memperoleh SIP.
Industri Kesehatan Terdampak?
Beberapa pandangan melihat dampak serius dari adanya pengesahan UU Kesehatan ini.
Timboel Siregar, Anggota BPJS Watch, mengkritik penghapusan mandatory spending kesehatan. ini karena secara yuridis langkah itu bertentangan dengan Tap MPR no. X/MPR/2001 di Poin 5a huruf 4.
Padahal Tap MPR no. X/MPR/2001 secara tegas telah menugaskan kepada Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15 persen dari APBN.
Menurut Timboel, penghapusan mandatory spending kesehatan akan berpengaruh pada beberapa hal.
Pertama, potensi penggunaan dana iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) untuk pembiayaan kesehatan yang seharusnya dibiayai APBN atau APBD.
Kedua, jumlah peserta PBI yang dibiayai iurannya dari APBN dan APBD akan dikurangi.
"Hal ini berarti akan semakin banyak rakyat miskin yang dinonaktifkan dari JKN," ujar Timboel.
Ketiga, berpotensi mendukung defisit pembiayaan JKN karena dana iuran digunakan untuk menjalankan kegiatan dan program yang seharusnya dibiayai APBN atau APBD.
Tak hanya itu, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan dihapusnya mandatory spending dalam UU Kesehatan akan berpengaruh terhadap sejumlah target.
Di antaranya seperti target prioritas stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kualitas pelayanan kesehatan.
Ia juga menilai kebijakan itu akan berdampak terhadap berbagai program strategis dan prioritas pembangunan kesehatan nasional maupun daerah. Program kesehatan akan sulit terlaksana dengan dalih keterbatasan anggaran.
"Kebijakan tersebut akan memberatkan konsumen, yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah ke depan akan dibebankan kepada masyarakat sebagai pengguna dari jasa kesehatan ini," katanya.
Selain itu, masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada pelayanan kesehatan yang murah dan efisien. Sejumlah rumah sakit, terutama RS daerah, masih akan sangat bergantung pada anggaran kesehatan.
Berdasarkan data BPS, ada 3.072 rumah sakit di Indonesia pada 2022 di mana jumlah tersebut meningkat 0,99 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 3.042 unit. (Lihat grafik di bawah ini.)
Berdasarkan tipenya, sebanyak 2.561 unit merupakan rumah sakit umum (RSU). Sisanya sebanyak 511 unit merupakan rumah sakit khusus (RSK).
Dalam soal operasionalnya, rumah sakit juga tidak bisa sepenuhnya bergantung pada anggaran pemerintah. Mereka harus menjalankan rumah sakit sebagai bagian dari bisnis yang berarti berorientasi pada pendapatan dan keuntungan.
Untuk mendapatkan pendanaan, bahkan beberapa rumah sakit mencatatkan saham mereka di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Tercatat ada 10 emiten rumah sakit yang telah melantai di BEI. Di antaranya PT Mitra keluarga Karyasehat Tbk (MIKA), PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL), PT Siloam Internasional Hospitals Tbk (SILO), PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (SAME), PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ), PT Royal Prima Tbk (PRIM), PT Bundamedik Tbk (BMHS), PT Murni Sadar Tbk (MTMH), PT Metro Healthcare Indonesia Tbk (CARE), dan PT Kedoya Adyaraya Tbk (RSGK).
Sejumlah emiten tersebut mengandalkan biaya pengobatan pasien dalam memperoleh pendapatan, serta investasi dari para investor saham.
Secara keseluruhan, UU Kesehatan ini akan sangat berdampak pada keseluruhan industri kesehatan.
Di sisi masyarakat, pengurangan anggaran kesehatan berarti bahwa beban biaya kesehatan berpotensi akan beralih pada kantong pribadi pasien. Di sisi pelayanan kesehatan, rumah sakit akan semakin kesulitan dalam memperoleh keringanan pendanaan karena anggaran yang dipangkas. (ADF)