ECONOMICS

Potensi ‘Penumpang Gelap’ saat Heboh-Heboh Isu Resesi

Maulina Ulfa - Riset 13/10/2022 15:38 WIB

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah jika ada free rider terhadap kondisi ini. Salah satunya adalah isu pemutusan hubungan kerja (PHK).

Potensi ‘Penumpang Gelap’ saat Heboh-Heboh Isu Resesi. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Jagat maya sedang digegerkan dengan tema resesi yang belakangan naik daun. Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani, bilang bahwa tahun depan kondisi ekonomi global akan ‘gelap’.

Jika melirik yang terjadi di beberapa negara di belahan dunia, kondisinya memang cukup mengkhawatirkan. Negara-negara maju mulai kehilangan taring ekonominya, sebut saja Inggris, Jerman, hingga Amerika Serikat (AS) yang menghadapi inflasi tinggi dan krisis energi.

Di Asia, tiga negara ekonomi utama seperti China, Korea Selatan, hingga Jepang juga menghadapi permasalahan serupa.

IMF dalam analisis terbarunya menyebutkan Inflasi global diperkirakan akan meningkat dari 4,7% di tahun 2021 menjadi 8,8% pada tahun 2022. Tetapi akan menurun menjadi 6,5% pada tahun 2023 dan menjadi 4,1% pada tahun 2024.

Namun, wacana resesi ini tak sedikit menyebabkan kepanikan baik di kalangan pengusaha dan pekerja.

Fearmongering Isu Resesi

Beberapa pejabat publik RI terpantau konsisten dan kompak menyerukan resesi sebagai ancaman ekonomi tahun depan.

Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan baru-baru ini mengatakan kepada awak media kondisi ekonomi dunia bakal gelap tahun depan. Menurutnya, dunia sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

“Ekonomi dunia tahun depan, memang semua lembaga-lembaga internasional menyampaikan dalam posisi yang tidak baik. Dalam posisi yang lebih gelap," katanya, dikutip Senin (3/10/2022).

Di kesempatan konferensi pers APBN KiTa, Senin (27/9), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga menyebutkan ekonomi dunia akan masuk jurang resesi di tahun 2023.

Kondisi ini seiring tren kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan sebagian besar bank sentral di dunia secara bersamaan.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga menyebut kondisi ekonomi global pada tahun depan 2023 diramal buruk. Kondisi ini menurutnya bakal berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara maju, apalagi negara berkembang.

"Ekonomi global tahun 2023 kalau boleh izinkan saya untuk mengatakan gelap, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang cerah dihadapan kita," kata Bahlil dalam Orasi Ilmiah di Universitas Cendrawasih melalui kanal YouTube BKPM, Kamis (6/10/2022)

Teranyar, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan bahwa dunia akan segera mengahadapi perfect storm, termasuk Indonesia.

Oleh sebab itu, Luhut meminta untuk seluruh masyarakat dan pemerintah untuk selalu waspada dalam menghadapi kondisi hal itu.

"Perfect Storm itu, menurut saya hampir semua bisa terjadi kepada negara-negara di dunia ini. Jadi kita harus waspada itu," katanya dalam acara Investor Daily Summit 2022 di Jakarta, Rabu (12/10/2022).

Adapun Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar juga mengatakan hal serupa.

"Ekonomi global saat ini seperti layaknya badai. Hanya memang banyak yang bertanya apakah ini topan, typhoon, atau perfect storm. Nampaknya perfect storm yang paling kuat probabilitasnya ke depan. Dalam konteks ekonomi global, ini artinya 3 hal menjadi satu," ujarnya di Jakarta, Selasa (11/10/2022).

Waspada Free Rider

Momentum global selalu berhasil menjadi alasan bagi para pembuat kebijakan di semua sektor untuk menentukan keputusan. Tak terkecuali riuh resesi global.

Padahal, untuk memutuskan kondisi suatu perekonomian resesi atau tidak, diperlukan kajian ekonomi dan pengukuran-pengukuran yang matang. Tidak bisa asal sebut.

Mengutip Reserve Bank of Australia, resesi tidak memiliki definisi tunggal. Resesi secara umum disepakati terjadi ketika ada periode penurunan output dan peningkatan yang signifikan dalam tingkat pengangguran.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah jika ada free rider (penumpang gelap) terhadap kondisi ini. Salah satunya adalah terkait isu pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sebelumnya, sejumlah startup dan perusahaan teknologi, termasuk Shoppe Indonesia, mengumumkan PHK sejumlah karyawannya.

Said Iqbal, Presiden Partai Buruh mengecam keras kebijakan PHK besar-besaran di tengah isu resesi global.

Ia menanggapi pernyataan para menteri terkait yang menyebarkan kabar resesi dan gelapnya dunia di tahun 2023 dan terkesan menakut-nakuti atau fearmongering.

Iqbal tak menampik potensi adanya resesi global tahun depan. Di beberapa negara Eropa, para buruh juga melakukan demonstrasi memprotes kenaikan harga. Para buruh ini juga menyuarakan penolakan PHK besar-besaran.

“Partai Buruh mengecam keras cara pemerintah menebar rasa takut kepada kaum buruh. Hentikan kalimat 'kebohongan' dan 'provokatif' yang menyatakan ancaman resesi akan menimbulkan dampak serius," ujar Said Iqbal.

Ia bilang tugas para menteri seharusnya menumbuhkan optimisme dan melakukan langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi resesi.

Ketakutan Iqbal bukan tanpa alasan. Berkaca pada yang terjadi di awal kehadiran pandemi Covid-19, banyak buruh terkena dampak akibat kebijakan PHK.

Efisiensi selalu menjadi alasan utama perusahaan dalam pengurangan karyawan. Kondisi ini berkontribusi pada peningkatan pengangguran Tanah Air.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun selama periode kuartal I 2017-kuartal I 2022 angka kemiskinan menunjukkan tren turun, namun sempat meningkat tajam di tahun 2020.

Pada kuartal 3 2020, tingkat pengangguran terbuka RI bahkan mencapai 7,07%, meningkat dibanding kuartal 1 tahun yang sama sebesar 4,94%. (Lihat grafik di bawah ini.)

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), ada 29,12 juta orang penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19.

Adapun rinciannya, pengangguran karena Covid-19 sebesar 2,56 juta orang, bukan angkatan kerja karena Covid-19 sebesar 0,76 juta orang. Sementara orang yang tidak bekerja karena Covid-19 sebesar 1,77 juta orang. Banyak pekerja juga mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 24,03 juta orang.

Belum pulih dari efek kejut pandemi Covid-19, sebaiknya para pembuat kebijakan tidak terlalu bersemangat untuk menebarkan kabar resesi agar pemulihan ekonomi Tanah Air masih bisa dilanjutkan. (ADF)

SHARE