Protes Lockdown di China Makin Parah, Ini Sederet Dampak Ekonominya
Protes di China memperburuk pasar saham, nilai tukar yuan hingga aktivitas manufaktur. Uniknya, beberapa indeks saham rebound hari ini.
IDXChannel - Protes masa di China pecah setelah negeri Tirai Bambu itu kembali memberlakukan lockdown pada Minggu (27/11/2022).
Diketahui aksi masa sipil belum pernah terjadi sebelumnya di China daratan sejak Presiden Xi Jinping menduduki kursi kekuasaan dalam sepuluh tahun terakhir.
Warga yang protes tengah menghadapi rasa frustrasi atas kebijakan zero covid-19 setelah 3 tahun status pandemi berlangsung.
Di Beijing, kerumunan besar berkumpul di tengah malam pada Minggu di sepanjang Jalan Lingkar ke-3 ibu kota China.
"Turun Partai Komunis China, turun dengan Xi Jinping”.
Kemarahan publik juga dipicu oleh terjadinya kebakaran di sebuah apartemen di kota Urumqi barat yang telah menewaskan 10 orang akibat kebijakan pembatasan Covid-19.
Masyarakat menduga, jatuhnya korban tersebut diakibatkan karena mereka tidak bisa keluar dari apartemen dan tidak bisa menyelamatkan diri akibat lockdown di kawasan tersebut.
Rezim Xi Jinping memang telah memberlakukan kebijakan Zero Covid-19 sejak awal tahun ini.
Mengutip BBC, China memiliki salah satu rezim anti-Covid paling ketat di dunia. Tindakan otoritas setempat meliputi:
- Otoritas setempat harus memberlakukan penguncian yang ketat, meski hanya ditemukan segelintir kasus Covid-19
- Tes massal dilakukan di tempat-tempat di mana kasus telah dilaporkan
- Orang dengan Covid-19 diisolasi di rumah, atau dikarantina di fasilitas pemerintah
- Bisnis dan sekolah ditutup di area lockdown
- Toko-toko ditutup, kecuali yang menjual makanan
- Lockdown berlangsung hingga tidak ada infeksi baru yang dilaporkan
Kondisi ini berdampak pagi pasar saham hingga ekonomi China secara luas
Guncangan Pasar Saham Hingga Lesunya Manufaktur
Pasar saham China dan nilai tukar mata uang yuan merosot ke level terendah lebih dari dua minggu pada hari Senin (28/11) akibat protes yang terjadi di beberapa kota besar tersebut.
Kondisi ini disebut meningkatkan prospek lebih banyak gangguan ekonomi. Mata uang dan indeks China diperdagangkan pada level terlemahnya dalam lebih dari dua minggu.
Indeks blue-chip Shanghai Shenzhen CSI 300 China turun 2,2%. Sedangkan indeks Shanghai Composite turun 1,6% pada perdagangan Senin (28/11). Aksi jual saham juga meluas ke bursa Hong Kong, dengan indeks Hang Seng anjlok 3,6%.
Pada Selasa (29/11), per pukul 10.00 WIB, indeks Shanghai Shenzhen CSI 300 dibuka rebound dengan kenaikan 1,51% sebanyak 56,69 poin. Sementara indeks Shanghai Composite juga menunjukkan rebound 1,5% ke level 3.131,15. Indeks Hang Seng juga dibuka menguat 3,39%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Nilai mata uang yuan juga merosot 0,8% menjadi 7,2281 per dolar AS. Sementara nilai tukar yuan lepas pantai turun 0,6% menjadi 7,2415 per dolar AS.
Protes memperkeruh sentimen pasar terhadap China setelah harapan bahwa negara itu akan melonggarkan kebijakan Zero Covid-nya.
Alih-alih melonggarkan, China malah memperketat langkah-langkah anti Covid-nya dalam beberapa pekan terakhir, karena negara itu bergulat dengan tingkat infeksi harian yang mencapai rekor tertinggi.
Sementara peningkatan infeksi ini terbilang sedikit dibandingkan dengan tingkat yang terlihat di negara lain. Pejabat China juga masih ‘ngotot’ terhadap kebijakan nol-Covid karena tingkat vaksinasi yang rendah dan kurangnya infrastruktur perawatan kesehatan.
Hanya sekitar separuh populasi China yang berusia 80 tahun ke atas yang telah menerima vaksinasi pertama mereka. Hanya kurang dari 60% dari mereka yang berusia 60 hingga 69 tahun telah divaksinasi penuh.
Padahal, orang tua paling berisiko tertular virus dan China telah mendesak orang tua untuk mendapatkan vaksinasi.
Di samping itu, langkah-langkah ketat kebijakan Zero Covid-19 sangat membebani pertumbuhan ekonomi China tahun ini, terutama di sektor manufaktur.
Hal ini karena negara itu menutup beberapa pusat industri untuk menekan outbreak infeksi.
Data menunjukkan industri China turun di periode Januari hingga Oktober. Laba industri turun 3% dalam 10 bulan pertama tahun 2022 dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini lebih dalam dibanding dengan penurunan untuk periode Januari-September 2,3%, menurut data Biro Statistik Nasional yang dirilis pada hari Minggu (27/11).
Keuntungan di perusahaan industri milik negara tumbuh 1,1%, sementara di sektor swasta turun 2,1%.
Di antara 41 industri yang disurvei, 22 mengalami penurunan laba. Terutama pada peleburan logam besi minus 92,7%, minyak bumi batubara dan bahan bakar lainnya minus 70,9%, peleburan logam non-ferro minus 20,0%), tekstil minus 16,4%, karet dan plastik minus 11,5%, dan industri barang logam minus 9,7%.
Dalam beberapa bulan terakhir, lockdown juga telah menimpa kota industri utama di China, termasuk wilayah Shenzhen.
Kota dengan penduduk 17,5 juta ini merupakan pusat teknologi, dan Shanghai, kota berpenduduk 26 juta juga menjadi pusat manufaktur, perdagangan, dan keuangan.
Lockdown mengakibatkan pabrik dan pelabuhan ditutup untuk waktu yang lama. Hal ini juga mempengaruhi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah tersebut.
Ekonomi China juga hanya tumbuh 3,9% selama setahun terakhir, dibandingkan dengan target sebesar 5,5% di tahun ini.
Angka pengangguran juga meningkat, terutama di kalangan anak muda, dan pasar properti semakin tertekan.
Tindakan lockdown ini juga memengaruhi bisnis dan konsumen di seluruh dunia, yang pasokan barangnya bergantung pada produksi China.
Sebagai contoh, lockdown di pabrik Foxconn di Zhengzhou memukul produksi iPhone, menyebabkan kekhawatiran kekurangan pasokan di seluruh dunia.
Penutupan berbagai pabrik ini juga menyebabkan kekhawatiran akan kekurangan produksi dan distribusi mainan menjelang Natal.
Meskipun pemerintah meluncurkan banyak langkah stimulus untuk membantu mendukung pertumbuhan, sejauh ini mereka memiliki efek terbatas pada perekonomian. (ADF)