ECONOMICS

Proyek Eco City Bermasalah, Status Kawasan Rempang Jadi Sorotan

Taufan Sukma/IDX Channel 19/09/2023 17:35 WIB

Semua wilayah di Batam rencananya bakal menjadi milik pemerintah, di bawah pengelolaan BP Batam.

Proyek Eco City Bermasalah, Status Kawasan Rempang Jadi Sorotan (foto: MNC Media)

IDXChannel - Upaya pemerintah membangun kawasan Eco City di Pulau Rempang terus memantik persoalan di level akar rumput.

Persoalan ini semakin mencuat menyusul bentrokan yang terjadi antara masyarakat setempat dengan aparat keamanan yang baru datang ke lokasi.

Menyikapi hal itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hadi Tjahjanto, menyatakan bahwa tanah seluas 17.000 hektare di Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan.

Senada dengan hal tersebut, Pakar Hukum Pertanahan, Tjahjo Arianto, menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap.

Hal ini membantah sejumlah spekulasi yang beredar sebelumnya, yang menyebut bahwa status kawasan Pulau Rempang adalah tanah adat.

"Jadi harus dibedakan. Di situ, di Rempang itu, kan sebagian besar adalah bekas hutan dan bekas HGU (Hak Guna Usaha). Jadi bukan pengakuan kepemilikan, melainkan pengakuan bahwa dia telah menggarap. Walaupun penggarapan (perkebunan, peternakan) itu ya ilegal," ujar Tjahjo, Senin (18/9/2023).

Termasuk soal tanah ulayat atau tanah adat, menurut Tjahjo, belum ada dasar hukum yang tegas terkait apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang.

"Kalau aturan yang tegas, belum ada. Hakikatnya, kalau hukum ada yang namanya logika hukum. Kalau mereka menggarap tanah itu turun-temurun, tinggal disitu turun-temurun, itu bisa dikatakan masyarakat adat. Tapi harus diteliti juga dan dicek kembali, tahun berapa hutan itu dilepaskan kepada para penggarap. Ini tanggung jawab Walikota Batam," tutur Tjahjo.

Tjahjo juga menjelaskan bahwa tidak ada istilah tanah milik negara, melainkan milik pemerintah sebagai pengelola negara.

Dalam hal ini, semua wilayah di Batam rencananya bakal menjadi milik pemerintah, di bawah pengelolaan BP Batam. Hal ini ditegaskan dengan ciri-ciri diberinya BP Batam atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
 
Jadi bila BP Batam mengajukan kerjasama dengan investor, maka investor tersebut bakal mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB) diatas HPL milik BP Batam. 
"Artinya, pemilik tanah tetap pemerintah, yang dalam hal ini (pemerintah) wilayah Batam," ungkap Tjahjo.
 
Tjahjo berpendapat bahwa kasus Kampung Tua ini berbeda dengan pendudukan yang dilakukan masyarakat Pulau Rempang atas bekas perkebunan HGU.

Tjahjo juga menuturkan bahwa pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut sebagai pemilik tanah yang dimaksud.

Terhadap hal pendudukan ini, harus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan seperti Kampung Tua di tempat lain.
 
Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam—seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.
 
Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden. 
"Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian," papar Tjahjo.

Sementara, Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
 
Agus pun meminta agar Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data terkait dengan kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.
 
"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000-an, kemudian banyak yang mencari tanah di sana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," ujar Agus.

Menurut Agus, perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar 2000-an. Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.

"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka ngga punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," tutur Agus.

Bahkan Agus menyebut bahwa secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat.

"Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara ya harus pergi," ungkap Agus.

Masalah konflik agraria itu pun menjadi bumerang bagi masyarakat terkait adanya statement janji kampanye Presiden Joko Widodo pada 2019 lalu yang disebut akan memberikan sertifikat kepada masyarakat.
 
"Tadi Saya lihat ada program kalo presiden kampanye pada tahun 2019 bahwa janji kasih sertifikat kaya gitu lho, dan itu tidak dikomunikasikan dengan baik," papar Agus.

Sehingga, lanjut Agus, ketika investor ingin membangun lahan tersebut menjadi terhambat karena kurangnya data studi sosial antropologi. Menurutnya, dalam hal ini pemerintah tak mengkaji terkait dengan studi ilmu sifat manusia dan lain sebagainya.
 
Agus juga menduga adanya konflik kepentingan dibalik permasalahan agraria yang ada di Pulau Rempang.

"Ya pasti lah ada yang menunggang. Kalau soal politik, pasti ada kepentingan lain apalagi mau Pemilu," tegas Agus. (TSA)

SHARE