ECONOMICS

Proyek Kereta Cepat dan Dilema Transportasi Publik di Indonesia

Maulina Ulfa - Riset 09/12/2022 08:00 WIB

Transportasi publik menjadi urgensi di Indonesia dalam menopang kebutuhan bepergian dan aktivitas sehari-hari warga.

Proyek Kereta Cepat dan Dilema Transportasi Publik di Indonesia. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Transportasi publik menjadi urgensi di Indonesia dalam menopang kebutuhan bepergian dan aktivitas sehari-hari warga.

Moda transportasi umum, seperti kereta api atau kereta listrik, semakin populer di kota besar, utamanya DKI Jakarta.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadi perhatian publik setelah belum lama ini menuai pro kontra.

KCJB diproyeksikan akan menggantikan KA Argo Parahyangan, kereta yang dioperasikan oleh PT. KAI relasi Jakarta-Bandung.

Perbedaan tarif dan waktu tempuh Jakarta-Bandung yang mencolok menuai hujatan netizen. Jika menggunakan KA Argo Parahyangan, masyarakat dapat mengeluarkan biaya Rp 135.000 untuk kelas kereta eksekutif. Sementara untuk kelas Ekonomi tarifnya adalah Rp 95.000.

Jarak tempuh KA Argo Parahyangan dari Jakarta ke Bandung yang berjarak 173 km rata-rata 3 jam 15 menit.

Penumpang juga punya pilihan kereta lainnya, yakni Argo Parahyangan Excellence yang diluncurkan dan mulai beroperasi sejak 1 Oktober 2019. Tarif yang dikenakan pada penumpang adalah Rp 150.000 untuk kelas eksekutif dan Rp 110.000 untuk kelas premium.

Sementara KCJB dibanderol Rp 150.000 hingga Rp350 ribu dengan waktu lebih singkat yakni sekitar kurang lebih 30 menit. (Lihat tabel di bawah ini.)

Salah satu yang menjadi soal adalah letak stasiun pemberhentian di wilayah Bandung yang cukup jauh dari pusat kota, yakni di stasiun Padalarang.

Guna menyiasati hal ini, KAI sedang menyiapkan KA Feeder beserta ruang tunggunya yang akan berhenti di Stasiun Padalarang, Cimahi, dan Bandung.

"Layanan ini disediakan untuk memudahkan pelanggan Kereta Api Cepat yang ingin melanjutkan perjalanan ke wilayah Cimahi maupun pusat Kota Bandung," ujar Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo dalam keterangan tertulis.

Dilema Transportasi Publik di RI

Keterbatasan infrastruktur dan pemerataan penyediaan moda transportasi publik memang menjadi persoalan serius bagi Indonesia.

Mengingat kondisi geografis yang terdiri dari bentang alam yang beragam dan sulit untuk dilakukan pembangunan.

Selama ini, penggunaan transportasi publik hanya terbatas di kota besar saja. Malah, Kereta jenis Mass Rapid Transit (MRT) masih tersedia hanya di Jakarta.

Sementara, Commuter Line atau sistem transportasi angkutan cepat komuter berbasis Kereta Rel Listrik juga masih hanya tersedia di Jakarta, dan Solo Balapan-Palur.

Kondisi ini mencerminkan pengguna transportasi berbasis kereta cepat/listrik masih terpusat di Jakarta.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 51,24% pekerja Indonesia menggunakan kendaraan pribadi atau dinas pada 2020. Sementara, pengguna kendaraan umum lebih kecil, yakni 41,93%.

Proporsi tersebut mengalami pergeseran dibanding tahun sebelumnya. Pada 2019 pengguna kendaraan pribadinya lebih banyak lagi, yakni 83,76%, sedangkan pengguna kendaraan umum 11,81%. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sementara, KCJB juga belum bisa dikatakan merepresentasikan kebutuhan kaum urban terutama yang tinggal di sekitar Jakarta-Bandung, terutama untuk kebutuhan bekerja.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Prof. Arief Anshory Yusuf, PhD, mengutip unpad.ac.id, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru mematikan operasional KA Argo Parahyangan saat KCJB beroperasi.

“Biarkan konsumen memilih dahulu kereta cepat atau Argo Parahyangan. Bila betul nanti kereta cepat lebih baik maka konsumen akan beralih secara alamiah. Jangan terburu-buru kalau belum jelas terbukti. Kebijakan jangan hanya dibikin berbasis asumsi,” kata Prof. Arief.

Prof. Arief menambahkan, layanan kereta cepat dan Argo Parahyangan tidak persis sama dan ada heterogeneitas dalam kebutuhan konsumen pengguna.

Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menutup layanan Argo Parahyangan, Prof. Arief berpendapat, secara ekonomi, sangat mungkin akan banyak segmen penumpang beralih ke moda transportasi lain, salah satunya adalah angkutan shuttle bus.

Untuk itu, menutup layanan Argo Parahyangan yang mampu mengangkut sekira 8.000 penumpang per hari untuk beralih ke KCJB dengan target angkut 30.000 penumpang per hari bukan menjadi solusi yang baik.

Lebih lanjut Ketua Dewan Profesor Unpad tersebut menjelaskan, sebagai monopoli jasa perkeretaapian di Indonesia, pemerintah melalui PT KAI perlu mementingkan kepentingan konsumen ketimbang pemilik modal. Menghilangkan Argo Parahyangan menurutnya akan berpotensi menyengsarakan konsumen.

“Monopoli yang terjadi secara alami seperti jasa kereta api ini perlu diregulasi atau dikelola monopolinya oleh negara agar kepentingan konsumen terjaga. Tetapi kalau pengelolaan monopoli ini malah mengabaikan kepentingan konsumen ini jadi regulasi monopoli salah kaprah. Kalau struktur pasarnya ada pesaing, masyarakat akan punya alternatif. Tetapi ini ‘kan tidak,” tegasnya.

Sementara itu, staf Khusus (Stafsus) Menteri BUMN Arya Sinulingga membantah kabar penghentian operasional Argo Parahyangan.

“Jadi, kalau dikatakan mengabaikan rakyat bawah enggak juga. Karena transportasi untuk ekonomi rakyat bawah dihapuskan enggak mungkin,” kata Arya di Kementerian BUMN, Selasa (6/12).

Nilai Ekonomi Kereta Cepat China

Di negeri asalnya, China, KCJB ini dikenal dengan sebutan High-speed rail (HSR) atau bullet trains. HSR berkembang pesat di China sejak pertengahan tahun 2000an dan diperkenalkan secara resmi pada April 2007 yang menghubungkan Beijing-Tianjin.

HSR China diimpor atau dibangun di bawah perjanjian transfer teknologi dengan pembuat kereta asing termasuk Alstom, Siemens, Bombardier dan Kawasaki Heavy Industries.

Setelah dukungan teknologi awal, para insinyur China telah mendesain ulang komponen kereta api internal dan telah membangun dan memproduksi kereta api dalam negeri yang diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China, CRRC Corporation.

CRRC Corporation Limited (dikenal sebagai CRRC) adalah produsen rolling stock milik negara terbesar di dunia dalam hal pendapatan, melampaui pesaing utamanya Alstom (ALO.PA) dan Siemens (SIEGY).

Mengutip Yahoo Finance, kapitalisasi pasar CRRC mencapai HKD150,5 miliar atau setara USD19,33 miliar (kurs HKD0,13 terhadap dolar AS). (Lihat grafik di bawah ini.)

Istilah rolling stock sendiri dalam industri transportasi kereta api meliputi komponen lokomotif dan gerbong barang dan penumpang.

Proyek pembangunan rel HRS ini sangat padat modal. Sekitar 40–50% pembiayaan disediakan oleh pemerintah pusat melalui pinjaman dari bank dan lembaga keuangan milik negara. Sementara 40% lainnya oleh obligasi yang diterbitkan oleh Kementerian Perkeretaapian (MOR) dan sisanya 10–20% oleh pemerintah provinsi dan lokal.

MOR melalui badan pembiayaannya, China Rail Investment Corp (CRIC), mengeluarkan utang sekitar ¥1 triliun atau setara USD150 miliar dalam dolar tahun 2010. Uang ini untuk membiayai pembangunan HSR dari tahun 2006 hingga 2010, termasuk ¥310 miliar dalam 10 bulan pertama tahun 2010.

CRIC juga meningkatkan modal melalui penawaran saham di mana CRIC menjual 4,5% saham di kereta api cepat Beijing–Shanghai kepada Bank of China seharga ¥6,6 miliar dan 4,5% saham kepada publik seharga ¥6 miliar.

CRIC mempertahankan 56,2% kepemilikan saham. Pada 2010, obligasi CRIC dianggap sebagai investasi yang relatif aman karena didukung oleh aset (kereta api) dan secara implisit oleh pemerintah.

Namun, berbeda kasus dengan Indonesia. Proyek KCJB mengalami cost overrun hingga Rp 21 triliun. Total investasi kereta cepat diperkirakan antara Rp 114,24 triliun sampai Rp 118 triliun dari awalnya terhitung sebesar Rp84 triliun.

Ironisnya, boncos ini harus ditambal dengan APBN oleh pemerintah.

Dampaknya, proyek ini seharusnya rampung pada 2019, tetapi diperkirakan baru bisa selesai di pertengahan tahun 2023 alias molor 4 tahun.

Diketahui, 75% proyek ini didanai utang dari China dengan bunga 2 % dan tenor 40 tahun.

Sementara, sisanya sebesar 25% investasi merupakan modal dari konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari 5 perusahaan China dan 4 perusahaan BUMN Indonesia.

Adapun 5 perusahaan China juga disebut memegang saham KCIC sebesar 40%,

PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) bertanggung jawab atas pengerjaan proyek KCJB.

Perusahaan itu merupakan gabungan dari konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60% saham), dan konsorsium Tiongkok, Beijing Yawan HSR Co Ltd (40% saham).

Setelah ditelusuri, Tim Riset IDX Channel belum menemukan informasi apapun terkait konsorsium perusahaan Yawan HSR Co Ltd, baik kapitalisasi pasar hingga kinerja saham.

Konsorsium Indonesia terdiri dari empat perusahaan pelat merah. Wijaya Karya (WIKA) menjadi pemegang saham paling besar, yakni 38%.

Lalu, PT Perkebunan Nusantara VIII dan PT KAI masing-masing memiliki 25% saham. Sisanya dipegang oleh Jasa Marga, sebesar 12%.

Mengutip Cgtn.com, sebanyak 11 KCIC di produksi di Kota Qingdao, China timur. Kereta yang dirancang dan diproduksi oleh CRRC Qingdao Sifang Co.Ltd ini diangkut ke Indonesia. Kontrak senilai USD364,5 juta, diberikan kepada CRRC pada April 2017.

Jika dibandingkan dengan pembangunan MRT Fase 1, pemerintah menghabiskan Rp16 triliun melalui pinjaman luar negeri dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Namun saham MRT dikuasai 99,99% oleh Pemprov DKI Jakarta.

Sumber pendanaan MRT diketahui 49% dari pemerintah pusat dan JICA memgang pendanaan 51%.

Balik modal baru akan terasa dalam 40 tahun dengan kisaran harga tiket Rp300 ribu rupiah dengan asumsi gerbong KCJB penuh setiap harinya.

Sementara jika dibandingkan dengan China, sebuah studi Bank Dunia tahun 2019 memperkirakan tingkat pengembalian ekonomi jaringan kereta api berkecepatan tinggi China berada pada 8%.

Dalam studi tersebut, ada kekhawatiran atas biaya awal, utang, dan profitabilitas dari proyek tersebut.

Sebuah penelitian Paulson Institute telah memperkirakan bahwa manfaat bersih dari kereta api berkecepatan tinggi untuk ekonomi China menjadi sekitar USD378 miliar dan laba atas investasi tahunan sebesar 6,5%.

Debt-Trap China Berkedok Investasi?

Dominasi perusahaan China di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sangat terasa di hampir semua aspek.

Mulai dari tenaga kerja asing, pembiayaan, hingga perusahaan kontraktor yang menggarap proyek ini.

Besarnya aliran uang China ke proyek KCJB rawan menempatkan Indonesia pada pada jebakan debt-trap diplomasi China.

Jenis diplomasi ini mulai dikenal saat China meluncurkan program Belt and Road Initiative (BRI).

Melalui debt-trap diplomacy, China akan mendapat kepemilikan suatu inftrastruktur negara peminjam dengan balasan pelunasan utang.

Meskipun dalam sebuah kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan membantah hal tersebut.

Luhut dengan tegas menolak anggapan tersebut karena seluruh uang yang didapatkan dari China merupakan utang yang produktif. Selain itu, tidak ada hidden debt yang dimiliki RI terhadap Beijing.

"Itu adalah utang produktif. Wong saya yang menangani kok," ujarnya di akhir bulan Mei lalu.

Sebagai contoh, Sri Lanka merupakan salah satu negara yang mengalami debt-trap diplomacy dan dapat dikatakan memiliki ketergantungan dengan pinjaman dana dari pemerintah China.

Terjeratnya Sri Lanka dalam debt trap diplomacy disebabkan faktor internal karena kondisi ekonomi Sri Lanka yang kurang stabil.

Kondisi itu mendorong China masuk dalam pendanaan pembangunan infrastruktur pelabuhan, yakni Hambantota International Port (HIP) dan Colombo Port City (CPC).

China mampu memberikan pengaruh dalam pembangunan suatu infrastruktur dan pengambilan keputusan dalam level negara.

Dalam hubungan China-RI, negeri Tirai Bambu merupakan salah satu negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia. (Lihat grafik di bawah ini.)

Diketahui selama ini, hubungan ekonomi RI dengan China juga tak begitu baik. Terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang terpantau selalu defisit. (Lihat grafik di bawah ini.)

Di samping itu, menurut Prof. Arief, proyek KCJB ini jangan sampai menjadi terkesan menuju pada de-development.

De-development merupakan pembangunan yang belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak utama de-development adalah kesejahteraan masyarakat yang stagnan bahkan berkurang meski pembangunan infrastruktur dilakukan.

“Atas nama pembangunan seolah-olah ada pembangunan infrastruktur transportasi canggih, tapi tidak ada maknanya. Kesejahteraan malah turun, safety malah memburuk. Kereta cepat nampak canggih tapi akhirnya rakyat malah balik lagi ke mobil,” kata Prof. Arief. (ADF)

SHARE