PwC ‘Ramal’ Ekonomi Indonesia Tetap Optimis di 2023, Ini Sejumlah Faktornya
Lembaga konsultan global PwC baru saja merilis Indonesia Economic Update Kuartal Pertama (Q1) 2023 yang membuat proyeksi ekonomi RI di tahun ini.
IDXChannel - Lembaga konsultan global PwC baru saja merilis Indonesia Economic Update Kuartal Pertama (Q1) 2023 yang membuat proyeksi ekonomi RI di tahun ini.
Dalam laporannya, PwC menyebut perekonomian negara-negara berkembang di Asia akan tetap tangguh terlepas dari proyeksi ekonomi global yang suram. Posisi ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan mengalami sedikit perlambatan pada tahun 2023.
“Ini adalah kabar baik mengingat perekonomian utama dunia diperkirakan akan mengalami resesi pada 2023 seiring berlanjutnya pertempuran melawan inflasi,” kata laporan tersebut dikutip Jumat, (10/3).
Tren global selama tiga tahun terakhir telah dirusak oleh pandemi Covid-19, masalah geopolitik (perang Rusia-Ukraina), gangguan rantai pasokan, tingkat inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan kenaikan harga komoditas.
Kekuatan Ekonomi RI
Berdasarkan temuan PwC, pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2022 menjadi daya tarik tersendiri, didukung oleh pertumbuhan ekspor, investasi dan belanja rumah tangga yang kuat.
Namun, risiko penurunan, seperti lemahnya permintaan global, arus keluar modal, tekanan mata uang dan kondisi keuangan global yang ketat berpotensi menghambat momentum pertumbuhan selama empat tahun ke depan.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dan harga komoditas global mendorong inflasi tahunan pada 2022. Inflasi telah mereda sejak Bank Indonesia beralih ke kebijakan moneter yang lebih agresif. Namun demikian, inflasi diperkirakan akan tetap berada di atas target BI sebesar 2-4% pada tahun 2023.
Namun demikian, beberapa indicator membuat ekonomi Indonesia lebih ‘aman’ di beberapa area, di antaranya masih terjaganya konsumsi, intervensi pemerintah, investasi bertumbuh, hingga terjaganya surplus perdagangan
1. Konsumsi
Konsumsi tetap menjadi kontributor paling signifikan bagi perekonomian Indonesia, dengan kontribusi lebih dari 50% PDB selama sepuluh tahun terakhir. Pangsa tersebut tetap stabil di kisaran 55% sepanjang satu dekade dari 2010 hingga 2022. Kepercayaan konsumen tetap terjaga di level optimis di atas 100 pada 2022 hingga awal 2023, seperti dilansir BI.
Selain itu, Pemerintah Indonesia relatif berhasil melindungi konsumsi dari tekanan inflasi global, dengan berbagai subsidi seperti subsidi BBM, listrik, dan bantuan sosial.
Dikombinasikan dengan kebijakan moneter yang akomodatif, inisiatif tersebut menghasilkan tingkat inflasi 4,4% yang dapat dikelola pada tahun 2022.
“Dengan inflasi global yang mencapai puncaknya dan bank sentral di seluruh dunia tetap berhati-hati, kami memperkirakan konsumsi domestik Indonesia akan tetap kuat. Upaya terkoordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter sangat penting untuk menjaga daya beli,” kata laporan PwC.
2. Intervensi Pemerintah
Harga komoditas yang tinggi meningkatkan penerimaan bukan pajak. Selain itu, aliran pendapatan yang kuat menopang pengeluaran dan subsidi. Sementara Defisit anggaran yang dapat dikelola sebesar 2,8% dari PDB pada tahun lalu.
Sementara, penyerapan anggaran pemeirntah pusat maupun daerah dari sisi kuantitas dan kualitas masih menjadi PR besar pemerintah RI.
“Kami memperkirakan anggaran pemerintah akan tetap kuat pada tahun 2023 dan oleh karena itu diperkirakan akan ada anggaran yang cukup untuk mempertahankan program pro-pertumbuhan dan pro-pekerjaan, serta subsidi untuk melindungi konsumsi dan mengendalikan inflasi,” ungkap Julian Smith, Advisor PwC Indonesia di laman resminya.
3. Peningkatan Investasi
Investasi asing langsung triwulanan Indonesia atau foreign direct investment (FDI) secara konsisten terealisasi dan membukukan rekor baru pada tahun 2022. FDI diperkirakan akan mengalami perlambatan ringan pada 2023.
Aliran FDI di Indonesia mencapai level tertinggi pada Q4 2022, yang sebagian besar merupakan investasi ke dalam pengembangan industri hilir di pertambangan dan sektor petrokimia.
FDI semakin meningkat tajam sejak Q4 2021 dan mencapai puncaknya di Q4 2022 sebesar USD 12,2 miliar dengan tingkat pertumbuhan 45,8% YoY.
Indonesia menerima aliran FDI tertinggi dari Singapura. Aliran ini berjumlah USD 13,3 miliar, setara 29,1% dari total nilai FDI Indonesia pada 2022.
4. Perdagangan
Indonesia menikmati surplus perdagangan yang dinikmati secara konsisten sejak 2020. Indonesia juga terus menunjukkan penguatan kemitraan perdagangannya dengan berbagai ekonomi.
Di antara banyak perdagangan perjanjian, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) menjadi kesepakatan yang paling dinantikan.
Peraturan ini secara resmi mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 2 Januari 2023. RCEP diharapkan dapat memperkuat kemitraan perdagangan antara negara ASEAN, China, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Beberapa negara ini merupakan mitra dagang utama RI. (Lihat tabel di bawah ini.)
Perjanjian RCEP memiliki beberapa aspek seperti penghapusan tarif untuk barang, akses pasar preferensial untuk barang tertentu, penyederhanaan prosedur kepabeanan, dan lain-lain.
Sementara, data nilai transaksi perdagangan regional tahun 2022 belum tersedia sampai dengan tanggal laporan PwC.
Belanja swasta dalam nilai riil juga mencapai level tertinggi mencapai Rp 1.550 triliun di Q2 2022 dan sedikit menurun menjadi Rp 1.545 triliun pada Q3 2022. Ada kemungkinan untuk melihat tren yang meningkat total nilai transaksi perdagangan regional pada 2022.
Lima komoditi perdagangan teratas ditinjau dari segi regional nilai perdagangan tahun 2021 adalah batubara (tidak diaglomerasi), mobil dan kendaraan, bahan bakar minyak, minyak sawit mentah, rokok dan tembakau, yang bersama-sama menyumbang 37,5% dari total nilai transaksi nasional pada 2021. Nilai transaksi untuk batubara (tidak diaglomerasi) saja sebesar Rp 227,24 triliun setara dengan 20,1% dari total nilai transaksi perdagangan regional di 2021.
Melihat berbagai faktor ini, PwC memperkirakan perekonomian Indonesia akan mengalami sedikit perlambatan pada 2023. Pertumbuhan diproyeksikan menjadi 4,8% di tahun ini.
Namun demikian, angka tersebut cukup menggembirakan mengingat ekonomi dunia diperkirakan akan mengalami 'perlambatan' besar sebagai dampak dari perang melawan inflasi yang terus berlanjut. (ADF)