Rawan Terdampak Resesi Global, Ulik Sejarahnya di Indonesia
Dampak pandemi Covid-19 yang masih berlangsung membuat beberapa negara mengalami resesi. Bagaimana sejarahnya di Indonesia?
IDXChannel - Dampak pandemi Covid-19 yang masih berlangsung membuat beberapa negara mengalami resesi. Melansir laman ojk.go.id, resesi ekonomi adalah kondisi di mana perekonomian suatu negara sedang memburuk.
Hal ini bisa terlihat dari PDB (Produk Domestik Bruto) yang negatif, pengangguran meningkat, hingga pertumbuhan ekonomi riil yang negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Selama pandemi Covid-19 yang melanda dunia, kegiatan perekonomian mengalami pergolakan, tidak terkecuali Indonesia. Badan Pusat Statististik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 terkontraksi atau minus 5,32 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibanding kuartal II/2019.
Indonesia pernah mencatatkan pertumbuhan negatif pada medio 1960-1966. Ketika itu, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno. Diketahui, saat itu kondisi politik dan ekonomi Indonesia setelah kemerdekaan masih jauh dari baik. Secara politik, Indonesia sudah merdeka. Namun secara ekonomi, ketergantungan kepada perusahaan asing tak terelakkan.
Terlebih, kepemimpinan Soekarno menganut sistem Ekonomi Terpimpin. Sistem Ekonomi Terpimpin adalah turunan dari sistem politik yang menjadi panduan Soekarno dalam memimpin Indonesia, yakni Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan sistem demokrasi di mana seluruh keputusan berada pada pemimpin negara.
Soekarno kerap menggaungkan ganyang Malaysia serta memperebutkan Irian Barat dari Belanda. Anggaran negara pun difokuskan pada dua faktor itu, bukan untuk program ekonomi. Setelah urusan tersebut selesai, Soekarno memilih untuk membangun monumen di ibu kota. Saat itu, Soekarno berpendapat, proyek tersebut dapat mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Ketika itu, biaya yang dibutuhkan masih besar namun di sisi lain utang masih terbatas. Pemerintah pun melakukan pencetakan uang. Hal ini mengakibatkan uang yang beredar di masyarakat jumlahnya naik ratusan kali lipat. Firman Lubis dalam bukunya “Jakarta 1960-an: Kenangan Selama Mahasiswa (2008),” krisis nilai uang terus merosot yang mengakibatkan harga barang naik.
Pada 1968, ekonomi Indonesia mulai membaik. Ketika beralih ke Orde Baru, pemerintah Indonesia banyak memberikan konsesi kepada luar negeri ke pihak asing. Ekonomi Indonesia kembali positif pada 1970-1980.
Namun ekonomi Indonesia kembali memburuk pada 1990-an. Pada 1998, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus. Berdasarkan data BPS 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I-1998 minus 12,23% dibanding semester yang sama pada 1997. BPS menyebut, hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan negatif, kecuali sektor pertanian, sektor gas dan air bersih, hingga sektor listrik.
Selain itu, faktor minusnya pertumbuhan ekonomi pada 1998 dikarenakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang lemah. Diketahui, rupiah mengalami depresiasi hingga lebih dari 80%. Rupiah jatuh ke titik terendahnya, Rp17.000/dolar AS pada Januari 1998. Hal ini juga disertai dengan kemerosotan yang mendalam di pasar saham. Kemudian menyebabkan beban ekonomi yang berlebih kepada negara. Pada 1998, bahkan utang Indonesia mencapai USD138 miliar.
Tak hanya itu, tahun 1998 juga terjadi inflasi yang sempat menyentuh 70 persen serta mengakibatkan kelangkaan barang kebutuhan pokok. Harga pangan naik 30% selama Januari dan Februari. Runtuhnya rupiah serta sektor swasta yang terjerumus utang luar negeri yang besar dan tidak dapat dilunasi telah berdampak buruk pada pemutusan lapangan pekerjaan, terutama di daerah perkotaan. Situasi demikian membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah turun. Hal ini pun menurunkan kepemimpinan Presiden Soeharto dari jabatannya.
Sejak dihantam krisis ekonomi pada 1998, Indonesia mulai mencatatkan kenaikan pertumbuhan ekonomi. Namun pada 2008, krisis kembali menghantam Indonesia. Pada 2008 juga terjadi inflasi hingga 11%, yang salah satu pemicunya adalah krisis keuangan Amerika Serikat (AS).
Di tengah situasi yang tidak stabil ini, masyarakat perlu mempersiapkan kondisi keuangan guna meminimalisir dampak dari resesi ekonomi. Melansir laman ojk.go.id, langkah tersebut antara lain, pertama, 20% dari dana yang digunakan untuk investasi dialokasikan untuk dana darurat.
Semakin besar proporsinya, semakin siap dalam memenuhi kebutuhan di tengah kondisi resesi ekonomi. Kedua, mulai untuk mengurangi serta tidak menambah beban pengeluaran seperti utang. Apabila memungkinkan, segera lunasi utang. Ketiga, apabila kondisi pasar global sudah mulai menurun, maka segera atur investasi yang lebih aman. Keempat, hidup sewajarnya serta tidak perlu panik. Tetap lakukan konsumsi seperti biasa, karena hal ini dapat membantu ekonomi tetap tumbuh. (TYO)
Diolah Tim Litbang MPI