Reformasi Tata Kelola Jadi Kunci Perbaikan BUMN
Keputusan pemerintah yang membuka peluang bagi ekspatriat memimpin BUMN harus dilihat secara proporsional sebagai upaya memperkuat kompetensi.
IDXChannel – Wacana warga negara asing (WNA) menjadi direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya tidak dipandang semata dari sisi kewarganegaraan, melainkan dari aspek tata kelola dan reformasi struktural di tubuh BUMN.
Hal ini dikatakan ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat.
Menurutnya, keputusan pemerintah yang membuka peluang bagi ekspatriat memimpin BUMN harus dilihat secara proporsional sebagai upaya memperkuat kompetensi dan memperkaya perspektif, bukan sebagai solusi tunggal memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah.
“Inti persoalannya bukan paspor (WNA), melainkan tata kelola, budaya organisasi, dan insentif. Retorika yang menempatkan WNA sebagai juru selamat justru menutupi akar masalah sebenarnya,” kata Achmad dalam analisis tertulis berjudul WNA Menjadi Direktur BUMN: Debat Kompetensi vs Tata Kelola, dikutip Selasa (21/10/2025).
Achmad menambahkan, tantangan utama BUMN bukanlah kekurangan talenta, melainkan struktur insentif yang keliru dan budaya proteksi yang membuat kegagalan jarang mendapat sanksi. Dia mengibaratkan BUMN sebagai pasien yang sakit bukan karena genetika, tetapi karena pola hidup yang salah, seperti model bisnis yang tidak efisien, minim inovasi, dan tata kelola yang lemah.
"Mengganti dokter lokal menjadi dokter asing tanpa memperbaiki pola hidup tidak akan menyembuhkan pasien. Begitu pula mengganti direksi dengan WNA tanpa membenahi struktur dasar tidak akan menyembuhkan BUMN," katanya.
Achmad menyoroti bahwa program transformasi BUMN 2019–2021 sebenarnya telah membawa hasil positif, di mana pendapatan tumbuh 18,8 persen dan laba konsolidasi melonjak lebih dari delapan kali lipat, dari Rp13 triliun menjadi Rp124,7 triliun.
Namun, ia mengingatkan bahwa hanya segelintir BUMN besar yang menyumbang mayoritas dividen negara, sementara ratusan lainnya masih menjadi beban akibat lemahnya manajemen dan ketergantungan pada proteksi.
"Masalah utama BUMN adalah struktur insentif dan budaya proteksi yang membuat kegagalan jarang dihukum, bukan minimnya talenta," kata dia.
Terkait penunjukan dua ekspatriat di Garuda Indonesia pada 2025, Achmad menilai langkah tersebut wajar selama disertai dengan target kinerja yang jelas dan transparansi publik.
"Penunjukan mereka hendaknya dipandang sebagai upaya memperoleh keahlian spesifik, bukan solusi universal. WNA tidak otomatis lebih bebas korupsi; tanpa tata kelola kuat, siapa pun bisa terseret praktik buruk," kata dia.
Dia juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap penunjukan direksi, agar publik dapat menilai efektivitas kebijakan tersebut.
Dalam pandangannya, reformasi BUMN ke depan harus berfokus pada perbaikan insentif, peningkatan kompetisi, dan penguatan tata kelola.
Langkah konkret yang disarankan Achmad antara lain memperkuat dewan komisaris dan audit independen, mengembangkan sistem pelaporan anonim, serta meningkatkan transparansi dalam pengadaan.
Dia juga mendorong agar penugasan sosial BUMN dikompensasi secara adil dan remunerasi direksi dihubungkan dengan capaian kinerja.
“Menarik talenta asing tanpa mengubah tata kelola hanya mengganti pemain tanpa mengubah permainan. Hanya dengan reformasi insentif dan sistem pengawasan yang kuat, BUMN dapat bertransformasi dari beban menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Achmad.
(Nur Ichsan Yuniarto)