Relevansi G20 di Tengah Gejolak Geopolitik dan Deglobalisasi Perdagangan
Kondisi ekonomi global yang penuh guncangan, hingga pecahnya perang senjata menjadikan harapan Recover Together, Recover Stronger semakin mendapat tantangan.
IDXChannel - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) puncak G20 akan diselenggarakan dalam hitungan hari. Ajang tahunan ini menjadi pertemuan para negara yang tergabung dalam Group of Twenty (G20).
Pertemuan elite ini merupakan forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa.
G20 merupakan representasi lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia.
Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, China, Turki, dan Uni Eropa.
Presidensi G20 Indonesia 2022 saat ini mengambil tema "Recover Together, Recover Stronger".
Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Namun sejumlah tantangan ekonomi masih besar mengintai. Kondisi ekonomi global yang mengalami guncangan, hingga pecahnya perang senjata menjadikan harapan Recover Together, Recover Stronger semakin mendapat tantangan.
Ekonomi G20 Penuh Gejolak
Kinerja ekonomi negara-negara anggota G20 hingga kuartal dua tahun ini bisa dibilang tidak memuaskan.
Produk domestik bruto (PDB) di kawasan G20 turun 0,4% kuartal-ke-kuartal pada Q2 2022 setelah sebelumnya naik 0,5% pada Q1, berdasarkan kalkulasi OECD. (Lihat grafik di bawah ini)
Perlambatan ini mencerminkan kontraksi tajam yang terjadi di China, di mana PDB turun minus 2,6% kuartal-ke-kuartal (qoq) setelah naik 1,4% pada Q1 2022.
Kontraksi ini dampak dari kebijakan lockdown yang diberlakukan untuk membendung meluasnya wabah Covid-19.
PDB juga mengalami kontraksi di India sebesar 1,4%, di Afrika Selatan sebesar 0,7% dan di Inggris dan Amerika Serikat masing-masing sebesar 0,1%.
Di India, penyebab utama perlambatan tersebut adalah penurunan dalam pengeluaran pemerintah dan aktivitas ekspor impor.
Di Afrika Selatan, pemulihan ekonomi semenjak dua kuartal sebelumnya dirusak oleh banjir parah di provinsi manufaktur utama.
Pertumbuhan juga melambat di beberapa negara, meskipun tetapi tetap positif seperti di Arab Saudi sebesar 2,2%, Indonesia 1,0%, Meksiko 0,9% dan Jerman 0,1%.
Meskipun terjadi kontraksi PDB di kawasan G20 secara keseluruhan, Australia, Brasil, Italia, Jepang, Korea, dan Türkiye mencatat pertumbuhan yang lebih kuat di Q2 2022 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Pertumbuhan di Türkiye pada kuartal ini mencapai 2,1% dibandingkan dengan Q1 2022 yang ada di angka 0,7%.
Peningkatan ini didukung oleh meroketnya konsumsi swasta yang konsumsi riil. Di Prancis, PDB naik 0,5% di Q2 2022 setelah kontraksi 0,2% pada kuartal sebelumnya, Sementara di Kanada pertumbuhan tetap stabil di 0,8%.
Pada kuartal kedua tahun 2022, PDB Meksiko dan Afrika Selatan tercatatkan lebih rendah dari tingkat pra-pandemi yakni pada Q4 2019.
Di Meksiko, PDB belum melampaui level Q4 2019, 1,1% lebih rendah dari sebelum pandemi.
Di Afrika Selatan, terjadi penurunan 0,7% pada Q2 2022 dan membawa PDB negara itu kembali ke level 0,5% di bawah level Q4 2019.
Kondisi ini mencerminkan ekonomi G20 sedang tidak baik-baik saja. KTT G20 diharapkan dapat menelurkan output nyata untuk merespon hal ini dengan serius.
Ancaman Konflik Rusia-Ukraina bagi Ekonomi
Rusia menjadi salah satu negara G20 yang membuat ‘kekacauan’ belakangan ini. Perang yang disulut oleh invasi tentara Rusia ke Ukraina, negara sebangsanya, telah membuat ekonomi dunia morat-marit.
Skala dampak konflik ini terbukti cukup meluas mengingat kedua negara adalah penghasil komoditas penting dunia seperti pangan dan energi.
Negara yang paling kocar-kacir adalah yang ada di benua Eropa, setelah akhirnya pasokan gas alam--penopang kehidupan Eropa--dari negeri Beruang Merah terpaksa dihentikan.
Rusia adalah pengekspor gas alam terbesar ke Uni Eropa pada 2019 dan 2020, mewakili lebih dari 40% impor wilayah tersebut.
Kondisi ini sebenarnya telah dimulai sejak meredanya pandemi Covid-19 di mana permintaan energi kembali meningkat namun suplai yang belum sepenuhnya memenuhi permintaan pasar.
Terlebih, gas alam tidak hanya mewakili seperlima dari listrik Eropa tetapi juga digunakan untuk pemanasan dan memasak.
Banyak analisis menunjukkan, dampak perang Rusia-Ukraina akan meningkatkan risiko geopolitik global. Secara historis, peningkatan risiko geopolitik telah dikaitkan dengan efek negatif yang cukup besar pada aktivitas ekonomi global. (Lihat grafik di bawah ini)
Setelah perang Irak, konflik Rusia-Ukraina menyebabkan kenaikan indeks risiko geopolitik yang berdampak signifikan pada ekonomi global.
Investor, pelaku pasar, dan pembuat kebijakan memperkirakan bahwa perang akan membebani ekonomi global seperti akan terus mendorong inflasi dengan potensi peningkatan tajam dalam kondisi ketidakpastian.
Temuan utama bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) menunjukkan bahwa peningkatan risiko geopolitik yang terlihat sejak invasi Rusia ke Ukraina akan memiliki efek makroekonomi yang tidak dapat diabaikan pada tahun 2022.
Dampak perang ini cukup terasa menyebabkan gejolak di pasar komoditas dan pasar keuangan sejak awal konflik.
Dibandingkan dengan kondisi tanpa perang, konflik antara Rusia-Ukraina ini mengurangi tingkat PDB global sekitar 1,5% dan menyebabkan kenaikan inflasi global sekitar 1,3 poin persentase.
Efek merugikan dari risiko geopolitik menurut The Fed dapat dilihat melalui sentimen konsumen yang lebih rendah, harga komoditas yang lebih tinggi, dan kebijakan keuangan yang lebih ketat. Hal ini cukup mempengaruhi pertumbuhan GDP global dan tingginya inflasi. (Lihat grafik di bawah ini)
Menurut Corrado Macchiarelli, manajer riset Global Macroeconomics di National Institute of Economic and Social Research menemukan, perang ini akan berdampak signifikan terhadap terganggunya rantai pasok global.
Rusia dan Ukraina adalah pemasok penting komoditas tertentu, termasuk titanium, paladium, hingga komoditas pangan seperti gandum, dan jagung.
Dampak perang terhadap harga komoditas dan inflasi terasa nyata. Hal ini mendorong negara-negara mulai mengamankan pasokan pangan mereka masing-masing tinimbang menjalin hubungan perdagangan dengan negara lain.
Macchiarelli juga memperkirakan bahwa efek perang di Ukraina akan mengakibatkan tingkat PDB global menjadi satu persen lebih rendah pada akhir tahun 2022 yang diramalkan sekitar USD1,5 triliun.
Ancaman Ketahanan Pangan akibat Perang
Dimensi lain dari konflik Rusia-Ukraina adalah kerentanan pangan yang menunjukkan tren peningkatan. Inflasi harga pangan domestik hampir terjadi di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah antara Juni dan September 2022, tak terkecuali di negara-negara G20.
Menurut laporan World Bank dalam Food Security Update pada 27 Oktober lalu, negara kaya mengalami inflasi pangan sebesar 84,2%. Sementara negara berpenghasilan menengah ke bawah mengalami inflasi pangan sebesar 88,9%. Serta 93% negara berpenghasilan menengah ke atas juga mengalami inflasi pangan.
Negara-negara ini secara umum bahkan mengalami tingkat inflasi di atas 5%, bahkan mengalami inflasi dua digit.
Negara-negara berpenghasilan tinggi, termasuk beberapa di antaranya adalah negara G20 mengalami inflasi tinggi. Adapun sekitar 87,5% mengalami inflasi harga pangan yang tinggi.
Negara-negara yang paling terkena dampak kerentanan pangan ini tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin, Asia Selatan, Eropa, hingga Asia Tengah.
Secara riil, inflasi harga pangan melebihi inflasi keseluruhan mencapai 84% dari 163 negara berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) pangan
Ancaman krisis pangan ini dibarengi dengan tingginya harga komoditas seperti energi di banyak negara. Hal ini menyusul banyaknya mata uang yang terdepresiasi akibat menguatnya dolar AS terhadap sejumlah nilai tukar mata uang.
Sebagai contoh, selama Februari 2022 hingga September 2022, harga minyak mentah Brent dalam dolar AS turun hampir 6%. Namun karena depresiasi mata uang, hampir 60% pasar negara berkembang pengimpor minyak dan berbagai negara berkembang ini harus menghadapi kenaikan harga minyak karena harus membeli memakai dolar AS.
Hampir 90% dari 163 negara ini juga mengalami kenaikan harga gandum yang lebih besar dampak dari kenaikan dolar AS.
Proteksionisme Perdagangan
Kondisi ini diperparah dengan tindakan proteksionisme negara-negara penghasil komoditas utama termasuk energi dan pangan.
Penetapan kebijakan pengaturan perdagangan pada pangan dan pupuk telah melonjak sejak awal perang Rusia-Ukraina dimulai.
Banyak negara secara aktif menggunakan kebijakan perdagangan untuk merespons kebutuhan beberapa komoditas penting dalam negeri ketika menghadapi potensi kekurangan pangan sejak awal pandemi Covid-19.
Pembatasan ekspor komoditas pangan utama tercatat oleh World Bank dilakukan oleh dua puluh negara dengan menerapkan 25 larangan ekspor makanan, dan delapan negara menerapkan 12 tindakan pembatasan ekspor. (Lihat tabel di bawah ini)
Tak hanya soal pangan, beberapa komoditas lain juga mengalami proteksi sebagai respons dari konflik geopolitik yang tidak hanya melibatkan Rusia-Ukraina.
Tetapi juga dua negara adi kuasa yang telah memiliki sejarah panjang tentang praktik perang dagang dan proteksionisme.
Adalah AS dan China yang masih terjebak dalam perang chip semikonduktor yang merupakan komponen utama dalam berbagai alat-alat canggih seperti elektronik, smartphone, komputer, hingga kendaraan.
AS kembali memperketat cengkeramannya pada ekspor chip semikonduktor ke China pada 7 Oktober lalu.
Departemen Perdagangan AS mengumumkan kebijakan kontrol baru pada teknologi ini dan mengatur ekspor semikonduktor ke negeri Tirai Bambu.
AS disebut akan mengatur kontrol ekspor pada chip canggih dan peralatan manufaktur semikonduktor, terutama jika digunakan atau dipasang di China.
AS juga bakal melakukan pembatasan sumber daya manusia yang mendukung pengembangan atau produksi chip semikonduktor tertentu di China.
Negeri Paman Sam itu juga akan menambah listing Daftar Pengguna yang Tidak Diverifikasi dan Daftar Entitas yang bertujuan untuk mengontrol penggunaan akhir chip ini di mana kondisi ini berpotensi mengarah pada pembatasan ekspor.
Kebijakan ini kembali menambah panjang konflik dagang antara dua negara raksasa teknologi ini.
Mempertanyakan Peran Indonesia dan G20
Di tengah gejolak global yang tidak pasti, peran forum-forum elite internasional seperti G20 kembali dipertanyakan.
Dalam keanggotaan G20, Rusia masih memegang teguh invasinya terhadap Ukraina dan konflik dagang AS dan China belum sepenuhnya mereda.
Bahkan ketegangan AS-China kembali memanas baru-baru ini akibat kedatangan ketua DPR AS, Nancy Pelosi, ke Taiwan.
Dalam kunjungannya ke Taiwan, Pelosi disebut bertemu dengan pemimpin Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), Mark Liu. TSMC adalah salah satu raksasa chip semikonduktor.
Pelosi disebut dalam misi ‘merayu’ perusahaan ini agar membuka industri manufakturnya di AS dan berhenti memproduksi chip canggih untuk perusahaan China. Mengingat negeri Tirai Bambu ini juga bergantung pada pasokan impor manufaktur TSMC.
Konflik geopolitik hingga ancaman proteksionisme perdagangan bukan perkara mudah untuk dipecahkan bagi G20.
Namun, berbagai negara bisa memetik untung dalam forum ini, termasuk Indonesia. Dalam forum KTT G20, Indonesia bisa mendapatkan manfaat dari informasi dan pengetahuan lebih awal tentang perkembangan ekonomi global, potensi risiko yang dihadapi, serta kebijakan ekonomi yang diterapkan negara lain terutama negara maju.
Hal ini akan membantu Indonesia menyiapkan kebijakan ekonomi yang lebih tepat untuk menghadapi tantangan ke depan. (ADF)